Komnas Pengendalian Tembakau (PT) menganggap bahwa menutup defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dengan menggunakan dana pajak rokok daerah adalah hal yang tidak bijaksana.
Pernyataan ini disampaikan karena pada Jumat lalu, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 28 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Salah satu butir yang menjadi pusat perhatian masyarakat adalah digunakannya dana pajak rokok daerah untuk menambah dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Bagi Komnas PT, pajak rokok daerah adalah hak daerah sesuai mandat Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sehingga Perpres Nomor 82 Tahun 2018 ini telah melangkahi undang-undang yang ada.
Bila penutupan defisit dengan dana pajak rokok ini tidak bersifat temporer maka Indonesia harus siap dengan konsekuensi yang dihadapi dalam jangka panjang. Mengingat tingginya penyakit terdampak rokok berkontribusi pada besarnya nilai klaim pasien JKN, di antaranya yang menyerap klaim kesehatan tertinggi adalah penyakit jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal, pemerintah seharusnya membuat keputusan berani untuk memotong masalah sejak dari hulu.
Namun, kata dr Widyastuti, apa yang tertulis di dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 menunjukkan bahwa pemerintah membuat keputusan yang akan membuat Indonesia terus menerus dibebani pembiayaan untuk penyelesaian masalah kesehatan di hilir dengan memerintahkan semua daerah menyerahkan dana promotif-preventifnya tanpa batasan waktu sementara.
“Terus terang saya gagal paham. Pemerintah memutuskan mengambil dana pencegahan penyakit katastropik yang bersumber dari pajak rokok daerah untuk menambal defisit pengobatan penyakit katastropik. Dan ini dikukuhkan dengan Perpres, bukan sebagai upaya emergency mengatasi krisis,” ujar dr Widyastuti.
Menurut dr Widyastuti, akibatnya bisa fatal kalau pajak rokok diharapkan mengikuti kebutuhan untuk menambal defisit. Tanpa keinginan menaikkan harga rokok, ini akan memaksa produsen menaikkan produksi dan masyarakat meningkatkan konsumsi. “Di dalam Perpres ini, tidak jelas indikasi meningkatkan premi untuk mengatasi masalah sistemik,” sambung dia.
Diakui dr Widyastuti, keputusan untuk menutup defisit BPJS Kesehatan adalah yang tidak bisa dihindari karena, bagaimanapun, masyarakat harus mendapat pelayanan kesehatan. Seperti yang kita tahu, defisitnya BPJS Kesehatan adalah hal yang sudah diprediksi sejak awal. Beban pembiayaan JKN meningkat setiap tahun, sementara pemasukan dari iuran publik yang dikelola BPJS lebih rendah dari nilai klaim pasian JKN setiap tahunnya.