Menggugat RUU Pertembakauan
Menggugat RUU Pertembakauan

Sesuai dengan tata tertib DPR, Komite Nasional Pengendalian Tembakau telah menemui ketua dan pimpinan DPR bulan Juli 2016 untuk mengajukan permintaan agar naskah RUU tentang Pertembakauan dapat didengarpendapatkan bersama dengan kelompok wakil masyarakat lainnya.

Hal tersebut tak pernah terlaksana karena Ketua DPR Ade Komarudin, akhir November 2016, diganti oleh Setya Novanto selaku ketua DPR. Dan Desember lalu DPR meloloskan RUU Pertembakauan sebagai RUU inisiatif DPR dan  mengajukannya kepada Presiden.

Presiden Joko Widodo diberi waktu 60 hari untuk menanggapinya. Presiden dapat menolak dengan tegas RUU Pertembakauan untuk tidak ditanggapi pemerintah sehingga RUU Pertembakauan otomatis  gugur tidak berlanjut lagi.

Perangkap RUU Pertembakauan

Ada beberapa alasan penolakan RUU Pertembakauan. Pertama, pemerintah menunjukkan sikap pemihakan, terutama pada kualitas kesehatan generasi muda emas Indonesia yang dapat membawa Indonesia ke tahapan lepas landas 2045.

Indonesia membutuhkan generasi yang tinggi kualitas kesehatan jasmaniah dan rohaniahnya. Pembangunan adalah hasil karya manusia yang cerdas dan sehat serta terdidik. “Kesehatan memang tidaklah segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan segala-galanya tak punya makna apa-apa”.

Karena itu, pola pembangunan perlu menekankan pengembangan kualitas jasmaniah dan rohaniah  generasi emas kita khususnya dan seluruh rakyat kita umumnya. Dalam kaitan inilah, terutama pada tahapan pembangunan yang penting sekarang ini, Presiden perlu menolak RUU Pertembakauan yang merusak kesehatan bangsa. Kedua, RUU Pertembakauan ini ingin mengangkat “tembakau sebagai warisan budaya” untuk membenarkan kehadiran industri rokok sebagai wahana kebudayaan.

Secara terus-terang RUU Pertembakauan mengakui bahwa tembakau yang dimaksud  adalah hasil dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan species lainnya yang mengandung nikotin dan tar.

Dalam UU Kesehatan sudah dinyatakan bahwa nikotin memuat zat adiktif sehingga konsumsinya perlu dikendalikan melalui tindakan kesehatan dan pengenaan cukai tembakau. Nikotin jika diisap melepaskan dopamin dalam syaraf kepala manusia yang di satu pihak menimbulkan “kenyamanan” dan di lain pihak membangkitkan ketagihan dan kecanduan akan nikotin.

Dalam proses ini nikotin tembakau merusak kemampuan intelektual pengisap rokok. Nikotin merangsang kecanduan yang memerlukan dosiszat adiktif lebih kuat sehingga nikotin menjadi pembuka jalur jalan bagimengalirnya zat adiktif lain, seperti kokain, heroin, mariyuana, dan narkotika.

Pintu gerbang jalur nikotin ini secara resmi kini dibuka melalui RUU yang mengangkat “tembakau bernikotin sebagai warisan budaya nasional”.

Sekarang saja pemerintah sudah kewalahan menanggapi “ancaman narkotika” dan peran tembakau sebagai penggulung zat adiksi baru muncul dalam tembakau Gorila. Dari sudut inilah RUU Pertembakauan menjerumuskan kita pada citra “tembakau sebagai warisan budaya nasional” yang menyesatkan dan karena itu harus ditolak.

Ketiga, isi RUU Pertembakauan terletak pada peningkatan kuantum produksi tembakau yang kemudian disusul dengan rumusan “pengendalian konsumsi produksi tembakau untuk melindungi dan menjamin kesehatan setiap warga negara”.

Pengendalian konsumsi produk tembakau dilakukan melalui pengaturan yang secara terbatas mencakup hanya “pengaturan penjualan iklan, promosi, sponsor dan penerapan kawasan tanpa asap Rokok”.

Rumusan peraturan ini  menjebak kita masuk perangkap. Di satu pihak ada maksud mengendalikan konsumsi produk tembakau, di lain pihak ada maksud meningkatkan kuantum produksi tembakau.

Bagaimana menjelaskan ambivalensi perumusan dua hal yang bertentangan dalam satu RUU? Secara terbatas pengendalian konsumsi produk tembakau ditempel  melalui pengaturan penjualan, iklan promosi, sponsor dan penerapan kawasan tanpa asap rokok-hal yang sudah diatur dalam peraturan pemerintah selama ini.

Yang ditonjolkan di sini bahwa pengendalian konsumsi produk tembakau bukan sasaran utama untuk melindungi dan menjamin kesehatan setiap warga.

Jika pertimbangan kesehatan yang ditampilkan, tempatnya tidak menyatu dalam RUU Pertembakauan yang justru ingin meningkatkan produksi dan konsumsi rokok dari tembakau-sebagai warisan budaya nasional. Karena itu, ada sifat ambilvalen dalam RUU Pertembakauan, di satu sisi “tancap gas” memenuhi keinginan industri rokok dan di lain pihak “mengerem” perokok atas dalih “kesehatan”.

Ancam generasi emas Dan di sinilah termuat kelicikan dan bahayanya RUU Pertembakauan yang ingin mendorong industri rokok sekaligus untuk melindungi kesehatan warga menurut pola yang sudah dibatasi.

Dua hal yang tak bisa dikompromikan. Dan dikunci dalam ketentuan penutup yang mencabut berbagai ketentuan lain yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan pertembakauan ini. Dengan diberlakukannya RUU Pertembakauan (jika diterima), peraturan perundang-undangan lain harus disesuaikan dengan UU Pertembakauan ini, termasuk hal-hal yang membatasi pengendalian konsumsi produk tembakau.

Karena itu, akan sangat menyedihkan jika Presiden dan para menteri Kabinet Kerja ikut terbenam dalam “kealpaan” dan menanggapi RUU Pertembakauan bikinan DPR sebagai hal serius dan secara sungguh-sungguh membahasnya bersama DPR. Terlalu kentara terselipnya kepentingan industri rokok dan bau “politik uang” yang sulit dibuktikan di balik RUU Pertembakauan ini.

Terlalu gamblang kerugian yang dipikul rakyat kita untuk dijejali tembakau sebagai “warisan budaya”. Terlalu besar risiko yang dihadapi generasi emas pembawa kejayaan Indonesia 2045 jika RUU Pertembakauan ini tidak ditolak oleh  Presiden dan pemerintah.

Dalam menanggapi RUU Pertembakauan prakarsa DPR jalan lurus satu-satunya adalah menolak sepenuhnya tanpa kompromi ditopang oleh sikap tegas menteri kesehatan dan menteri perindustrian untuk sedia mempertaruhkan jabatannya jika RUU Pertembakauan didesakkan masuk paru-paru rakyat Indonesia.  

EMIL SALIM Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul “Menggugat RUU Pertembakauan”.

Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul “Menggugat RUU Pertembakauan”.

Reff : https://nasional.kompas.com/read/2017/02/23/20263431/menggugat.ruu.pertembakauan?page=all