Jakarta (Greeners) – Komite Nasional Pengendalian Tembakau mendesak Menteri Kesehatan untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Regulasi tersebut mengatur tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Komnas juga mendorong pemerintah agar menaikkan cukai rokok untuk menekan prevalensi perokok anak yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun.Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau, Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan upaya perlindungan anak dari ancaman konsumsi rokok yang semestinya menjadi fokus pemerintah juga belum dipahami dengan baik. Ia meminta pemerintah untuk mengendalikan konsumsi tembakau dengan merevisi poin-poin, seperti pelarangan total iklan rokok, pembesaran peringatan kesehatan bergambar, dan penguatan layanan untuk berhenti merokok.
“Melambatnya proses revisi PP 109/2012 memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mawas dalam mendesak pengendalian konsumsi rokok di Indonesia yang sudah sangat parah,” ujar Tubagus dalam Konferensi Pers daring “Mendesak Menteri Kesehatan Kerjakan PR: Selesaikan Segera Revisi PP109/2012” pada Senin, (31/08/2020).Unifah Rosidi, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengatakan pengaturan pengendalian konsumsi rokok masih longgar. Menurutnya cita-cita pemerintah untuk menerapkan pelarangan merokok pada anak usia 18 tahun ke bawah hanya akan menjadi jargon semata. Hal tersebut masih akan terus berlangsung jika iklan, promosi, dan sponsor rokok masih diperbolehkan. Berikutnya anak-anak masih sangat mudah untuk memperoleh dan mengakses rokok. Peringatan kesehatan bergambar, kata dia, juga tidak dimaksimalkan.“Kami sangat menyayangkan, Menteri Kesehatan tampak tidak menganggap penting situasi ini.
Ketika anak-anak kita masih sangat lemah perlindungannya dari bahaya rokok, Menteri Kesehatan justru lambat melakukan revisi PP109/2012,” ucap Unifah.
Green Crescent Indonesia juga meminta pemerintah untuk segera merevisi kebijakan tersebut agar masyarakat dan generasi penerus bangsa terlindungi dari efek merugikan akibat merokok. Era Catur Prasetya, Ketua Green Crescent Indonesia menuturkan kebijakan pengaturan iklan, sponsor rokok, gambar peringatan akibat merokok yang diperbesar, larangan penjualan eceran dan di bawah umur, pengaturan harga terbukti dapat mengendalikan konsumsi tembakau di berbagai negara.“Revisi PP ini juga penting agar masyarakat mendapat kemudahan untuk mengakses layanan keterampilan prevalensi remaja, program berhenti merokok, serta menjamin ketersediaan obat-obatan yang digunakan dalam program berhenti merokok,” ujar dr. Era
Hasil riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) tentang tingkat prevalensi merokok pada anak di Indonesia pada 2020 menyebut, efek harga dan teman sebaya memberi peluang anak untuk merokok.Teguh Dartanto, Kepala Tim Riset PKJS-UI, mengatakan semakin mahal harga rokok, semakin kecil peluang anak merokok dan semakin sedikit konsumsi rokok batangan setiap Minggu. “Kenaikan harga rokok adalah kunci pengendalian rokok pada anak-anak,” kata Teguh yang juga Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.Kebijakan Tarif CukaiAdapun Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Wawan Juswanto menjelaskan, kebijakan cukai hasil tembakau dapat dilihat dari tarif cukai dan harga jualan eceran. Tarif cukai, kata dia, tergantung pada jenis rokok, golongan pabrik, dan harga eceran yang ditentukan Menteri Keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Cukai.Saat ini tarif cukai pada rokok konvensional sebesar 23 persen, sementara pada produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) sebesar 57 persen. “Pada tahun 2019 harga rokok menjadi relatif murah karena tidak ada kenaikan tarif cukai,” ujar Wawan.Baca juga: Kementan Hapus Ganja dari Daftar Tanaman Obat BinaanWawan juga menyadari adanya dampak buruk pada anak karena rokok. Ia mengatakan Kementerian Keuangan akan membuat kebijakan lebih tegas untuk menurunkan prevalensi merokok pada anak dalam rangka peningkatan sumber daya manusia dan keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Kebijakan cukai akan tetap ditujukan untuk mengendalikan konsumsi barang yang berdampak negative,” kata dia.Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah berupaya menurunkan perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 5,7 persen. Sedangkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat bahwa terdapat peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 hingga 18 tahun. Pada 2013 prevalensi perokok anak berkisar 7,1 persen. Selama kurun waktu lima tahun, angkanya meningkat menjadi 9,1 persen.
Jakarta (Greeners) – Komite Nasional Pengendalian Tembakau mendesak Menteri Kesehatan untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Regulasi tersebut mengatur tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Komnas juga mendorong pemerintah agar menaikkan cukai rokok untuk menekan prevalensi perokok anak yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun.Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau, Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan upaya perlindungan anak dari ancaman konsumsi rokok yang semestinya menjadi fokus pemerintah juga belum dipahami dengan baik. Ia meminta pemerintah untuk mengendalikan konsumsi tembakau dengan merevisi poin-poin, seperti pelarangan total iklan rokok, pembesaran peringatan kesehatan bergambar, dan penguatan layanan untuk berhenti merokok.
“Melambatnya proses revisi PP 109/2012 memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mawas dalam mendesak pengendalian konsumsi rokok di Indonesia yang sudah sangat parah,” ujar Tubagus dalam Konferensi Pers daring “Mendesak Menteri Kesehatan Kerjakan PR: Selesaikan Segera Revisi PP109/2012” pada Senin, (31/08/2020).Unifah Rosidi, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengatakan pengaturan pengendalian konsumsi rokok masih longgar. Menurutnya cita-cita pemerintah untuk menerapkan pelarangan merokok pada anak usia 18 tahun ke bawah hanya akan menjadi jargon semata. Hal tersebut masih akan terus berlangsung jika iklan, promosi, dan sponsor rokok masih diperbolehkan. Berikutnya anak-anak masih sangat mudah untuk memperoleh dan mengakses rokok. Peringatan kesehatan bergambar, kata dia, juga tidak dimaksimalkan.“Kami sangat menyayangkan, Menteri Kesehatan tampak tidak menganggap penting situasi ini.
Ketika anak-anak kita masih sangat lemah perlindungannya dari bahaya rokok, Menteri Kesehatan justru lambat melakukan revisi PP109/2012,” ucap Unifah.
Green Crescent Indonesia juga meminta pemerintah untuk segera merevisi kebijakan tersebut agar masyarakat dan generasi penerus bangsa terlindungi dari efek merugikan akibat merokok. Era Catur Prasetya, Ketua Green Crescent Indonesia menuturkan kebijakan pengaturan iklan, sponsor rokok, gambar peringatan akibat merokok yang diperbesar, larangan penjualan eceran dan di bawah umur, pengaturan harga terbukti dapat mengendalikan konsumsi tembakau di berbagai negara.“Revisi PP ini juga penting agar masyarakat mendapat kemudahan untuk mengakses layanan keterampilan prevalensi remaja, program berhenti merokok, serta menjamin ketersediaan obat-obatan yang digunakan dalam program berhenti merokok,” ujar dr. Era
Hasil riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) tentang tingkat prevalensi merokok pada anak di Indonesia pada 2020 menyebut, efek harga dan teman sebaya memberi peluang anak untuk merokok.Teguh Dartanto, Kepala Tim Riset PKJS-UI, mengatakan semakin mahal harga rokok, semakin kecil peluang anak merokok dan semakin sedikit konsumsi rokok batangan setiap Minggu. “Kenaikan harga rokok adalah kunci pengendalian rokok pada anak-anak,” kata Teguh yang juga Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.Kebijakan Tarif CukaiAdapun Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Wawan Juswanto menjelaskan, kebijakan cukai hasil tembakau dapat dilihat dari tarif cukai dan harga jualan eceran. Tarif cukai, kata dia, tergantung pada jenis rokok, golongan pabrik, dan harga eceran yang ditentukan Menteri Keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Cukai.Saat ini tarif cukai pada rokok konvensional sebesar 23 persen, sementara pada produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) sebesar 57 persen. “Pada tahun 2019 harga rokok menjadi relatif murah karena tidak ada kenaikan tarif cukai,” ujar Wawan.Baca juga: Kementan Hapus Ganja dari Daftar Tanaman Obat BinaanWawan juga menyadari adanya dampak buruk pada anak karena rokok. Ia mengatakan Kementerian Keuangan akan membuat kebijakan lebih tegas untuk menurunkan prevalensi merokok pada anak dalam rangka peningkatan sumber daya manusia dan keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Kebijakan cukai akan tetap ditujukan untuk mengendalikan konsumsi barang yang berdampak negative,” kata dia.Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah berupaya menurunkan perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 5,7 persen. Sedangkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat bahwa terdapat peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 hingga 18 tahun. Pada 2013 prevalensi perokok anak berkisar 7,1 persen. Selama kurun waktu lima tahun, angkanya meningkat menjadi 9,1 persen.