Jakarta, 31 Maret 2021 – Hari ini, setahun sejak Keputusan Presiden menetapkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat terkait pandemi Covid-19 di Indonesia, Pemerintah belum juga mengambil langkah signifikan dalam menekan konsumsi rokok di Indonesia. Padahal, berbagai studi telah menyebutkan korelasi erat antara konsumsi rokok dan Covid-19, meningkatkan risiko penularan dan memperberat komorbid pasien Covid-19. Meski tren kasus Covid-19 di Indonesia turun, namun kematian akibat Covid-19 Indonesia masih yang tertinggi di Asia Tenggara (https://ourworldindata.org/covid-deaths). Terkait hal ini, Komnas Pengendalian Tembakau, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menyampaikan pernyataannya dalam Konferensi Pers “Setahun Pandemi: Celah Regulasi yang Memperlambat Pemulihan COVID-19” sore ini.
Seperti yang kita ketahui, konsumsi rokok adalah faktor risiko utama penyakit-penyakit tidak menular mematikan, yang di antaranya ternyata merupakan penyakit-penyakit penyerta pasien covid -19 tertinggi, yaitu hipertensi, kardiovaskular, paru kronis, dan kanker, yakni hipertensi sebesar 50,4%, diabetes melitus 35,3%, penyakit jantung sebanyak 17,6%, penyakit paru kronis 6,2%, beserta kanker sebesar 1,2%. Pada diabetes melitus pun, rokok meningkatkan faktor risiko seseorang terkena penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2. Zat adiktif nikotin dalam rokok dapat menyebabkan resistensi hormon insulin dan mengurangi respon pankreas untuk menghasilkan insulin.
Riskesdas 2018 menunjukkan, prevalensi penyakit tidak menular mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013, antara lain kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi. Prevalensi kanker naik dari 1.4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8% prevalensi stroke naik dari 7% menjadi 10.9% dan penyakit ginjal kronik naik dari 2% menjadi 3,8%. Berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6.9% menjadi 8.5%; dan hasil pengukuran tekanan darah, hipertensi naik dari 25.8% menjadi 34.1%. Kenaikan prevalensi penyakit tidak menular ini berhubungan dengan pola hidup antara lain merokok. Sejak 2013, prevalensi merokok pada remaja (10-18 tahun) terus meningkat, yaitu 7.2% (Riskesdas 2013), 8.8% (Sirkesnas 2016), dan 9.1% (Riskesdas 2018).
Berbagai riset di berbagai negara di seluruh dunia telah membuktikan bahwa terdapat hubungan erat antara perilaku merokok yang memperberat risiko penularan Covid-19 dan penyakit penyertanya. Penelitian yang dilakukan Komnas Pengendalian Tembakau (2020) dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2021) menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan konsumsi rokok di masa pandemi COVID-19.
“Data perokok dan COVID-19 per provinsi di Indonesia menunjukkan adanya peluang tingginya jumlah perokok akan diikuti dengan tingginya kasus COVID-19. Jika dibandingkan dengan beberapa Negara lain di Asia Tenggara, Indonesia memiliki prevalensi perokok tertinggi diikuti dengan jumlah kasus COVID-19 tertinggi,” jelas DR. Dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FAPSR, FISR, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam konferensi pers.
Melihat kaitan antara perilaku merokok dan Covid-19, hendaknya penanganan Covid-19 di Indonesia juga memperhatikan pengendalian konsumsi rokok, baik rokok konvensional maupun rokok elektronik, yang saat ini tak terbendung di negeri kita. “Namun sayangnya, jangankan menjadi salah satu fokus bagian dari upaya penanganan Covid-19, pengendalian konsumsi rokok cenderung stagnan bahkan diabaikan. Untuk itu, YLKI mendesak Menkes agar segera memproses amandemen PP109/2012 untuk melindungi konsumen Indonesia,” ujar Tulus Abadi, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia seraya menyinggung amandemen Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang merupakan regulasi penting dalam pengendalian konsumsi produk tembakau di Indonesia, yang tidak kunjung selesai proses revisinya.
Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, mengungkapkan bahwa pengendalian konsumsi rokok saat ini mendesak dilakukan. “Kami percaya, Pak Menkes saat ini memiliki prioritas yang sangat baik yang lebih memilih pada upaya preventif kesehatan daripada kuratif. Karena itu, program vaksin yang sedang berlangsung harus dibarengi dengan penguatan regulasi kesehatan, yang di antaranya paling mendesak saat ini adalah revisi PP109/2012 untuk menekan masalah-masalah kuratif kesehatan yang lagi-lagi harus dilakukan di masa depan,” tegasnya.