Liputan6.com, Jakarta Masalah rokok dinilai sangat dekat dengan persoalan kemiskinan. Hal ini karena dominasi pengeluaran untuk rokok di kalangan masyarakat miskin masih begitu besar.
“Ini merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah beras atau mencapai 11 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin,” ujar Chief of Communications and Partnership, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Ruddy Gobel, di Jakarta, Selasa (17/6/2018).
Ruddy mengatakan, pengeluaran masyarakat miskin untuk rokok yang sedemikian besar bahkan mengalahkan pengeluaran makanan bergizi seperti telur, pendidikan anak, dan kesehatan.
Kondisi ini, kata dia, akan menyebabkan masyarakat miskin tetap berada dalam siklus kemiskinan dari generasi ke generasi.
“Untuk itu kami meminta pemerintah untuk menaikkan harga rokok setinggi mungkin sebagai salah satu langkah konkret untuk mengurangi konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin. Jadi pengeluarannya dapat dialihkan untuk konsumsi makanan bergizi, biaya pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada upaya pengentasan kemiskinan,” jelas dia.
Ruddy melanjutkan, dengan menaikkan harga rokok secara signifikan, diharapkan tingkat konsumsi rokok terhadap masyarakat miskin akan berkurang.
“Kalau kenaikan sekadar naik dalam batas yang tidak terlalu besar itu barangkali tetap akan dibeli. Tetapi kalau dalam jumlah yang signifikan bahkan sampai naik 100 persen itu bisa membuat masyarakat miskin itu berpikir dan beralih kebutuhannya untuk kebutuhan lain,” kata Ruddy.
“Ya kalau dari pandangan kami semakin besar kenaikannya maka dampaknya terhadap keengganan untuk mengonsusmsi rokok itu semakin besar. Tinggal tergantung keputusan pemerintah aja ya dikaji dari berbagai aspek,” kata dia.
Sebagai informasi, berdasarkan hasil survei Komnas Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), 66 persen dari 404 responden perokok akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 60 ribu per bungkus. Sementara, 74 persen dari 404 responden perokok mengatakan akan berhenti merokok apabila rokok naik menjadi Rp 70 ribu per bungkus.
Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merilis hasil survei mengenai dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok. Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mendukung harga rokok dinaikkan agar tidak ada lagi membeli rokok.
Anggota Tim Peneliti PKJS-UI, Renny Nurhasanah mengungkapkan, dukungan harga rokok mahal ternyata tidak hanya muncul dari masyarakat non-perokok, tapi juga dari para perokok. Hal ini dibuktikan dalam survei yang dilakukan PKJS-UI selama Mei 2018 pada 1.000 responden.
Renny mengatakan, survei ini ditujukan untuk mengukur seberapa besar dukungan masyarakat terhadap kenaikan harga rokok dan mengetahui sikap perokok terhadap dampak kenaikan harga rokok.
“Bahwa 88 persen responden mendukung kenaikan harga rokok agar anak-anak tidak membeli rokok. Jika dikelompokkan pada perilaku merokok 80,45 persen perokok, 93,01 persen non-perokok, dan 92,63 persen yang sudah berhenti merokok setuju harga rokok dinaikin lagi,” kata Henny, di Jakarta, Selasa (17/7/2018).
Renny melanjutkan, hasil survei juga menunjukan sebanyak 66 persen dari 404 responden perokok akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 60.000 per bungkus dan sebanyak 74 persen dari 404 responden perokok mengatakan akan berhenti merokok apabila rokok naik menjadi Rp 70.00 per bungkus.
“Hal ini menunjukan dukungan yang positif dari para perokok sendiri untuk menikan harga rokok secara signifikan dibanding harga rokok yang sekarang ada, yaitu rata-rata Rp 17.000 per bungkus,” imbuhnya.