Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengancam buruh di industri rokok bukan karena penurunan penjualan akibat kampanye hitam antirokok yang digalakkan sejumlah elemen masyarakat. Hal tersebut lantaran adanya pengalihan produksinya kepada sigaret kretek mesin (SKM) dari sebelumnya melakukan produksi pada sigaret kretek tangan (SKT).
“PHK di industri rokok karena mekanisasi, pergantian sigaret rokok kretek linting tangan ke sigaret linting mesin. Karena dengan mesin kan produktivitasnya lebih tinggi dan tidak butuh pekerja banyak, bukan karena black campaign antirokok, itu mereka (pelaku industri rokok) bohong,” ujar Dewan Penasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Kartono Muhammad kepada Okezone, belum lama ini.
Kartono mengatakan, mekanisasi mengikuti pasar kerap dilakukan oleh pihak industri rokok. Sehingga, diperlukan aturan maupun antisipasi konkret dari pemerintah untuk menanggulangi masalah ini.
“Kebiasaan mereka kerap beralih ke mekanisasi untuk bisnis masa depan lebih untung dengan mesin. Apalagi kesalahannya lebih sedikit dan produksi jadi banyak,” kata dia.
Menurutnya, seharusnya pemerintah memperketat dengan membatasi mekanisasi pada industri rokok. Di samping secara optimal untuk terus menyediakan lapangan kerja tanpa hanya mengandalkan sektor industri semata.
“Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Perindustrian, seharusnya dibatasi mekanisasi jangan pakai mesin. Bila industri rokok ingin memakai mesin, maka cukainya dilipat gandakan,” pungkasnya.
Sekedar informasi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Keuangan bahwa produksi rokok meningkat 47 persen dari 235,5 miliar batang pada 2005 menjadi 346 miliar batang pada 2013. Sementara itu, jumlah pekerja industri pergolakan tembakau terus menurun sejak 2006 hingga 2012.