Petugas gabungan BPLHD DKI Jakarta dan Dinas Perhubungan melakukan razia terpadu bagi penumpang, sopir atau kenek kendaraan umum di Terminal Blok M yang merokok di dalam angkutan umum, Jakarta, (29/5).
Razia dilakukan untuk menyadarkan bahayanya asap rokok terutama bagi perokok pasif. Tempo/Tony Hartawan

TEMPO.CO, Jakarta – Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo perihal dukungan dalam penanganan COVID-19 mengenai perokok yang berisiko tertular virus corona baru.
Dalam surat bernomor 033/KOMNASPT/SK/IV/2020 itu ada dua fokus dukungan untuk pemerintah membuat kebijakan bagi perokok.
Dalam video konferensi yang digelar Selasa, 28 April 2020, surat tersebut dibacakan oleh Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia (YJI) Esti Nurjadin yang merupakan anggota dari Komnas Pengendalian Tembakau.

“Satu pemerintah mengimbau masyarakat yang merokok untuk berhenti atau mengurangi merokok dalam rangka mencegah meningkatnya angka kematian COVID-19.
Memperkuat penanganan COVID-19 dengan larangan merokok, khususnya di tempat-tempat berisiko tinggi, termasuk larangan rokok elektrik,” ujarnya.
Dalam surat juga tertulis bahwa Komnas Pengendalian Tembakau mengamati bahwa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berhadapan dengan sulitnya mendisiplinkan masyarakat, sebagaimana juga perilaku merokok masyarakat yang memperbesar risiko infeksi COVID-19.
“Kami prihatin, karena data perokok juga menunjukkan bahwa prevalensi perokok masyarakat Indonesia juga tertinggi (33 persen) di ASEAN.
Penduduk miskin dan kurang mampu, yang kini semakin banyak yang bergantung pada bantuan sosial untuk menghidupi keluarga, masih saja merokok,” kata Esti membaca surat yang ditandatangani 23 anggota Komnas Pengendalian Tembakau.

Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Ede Surya Darmawan yang hadir dalam video konferensi menerangkan banyak penelitian mengenai hubungan antara merokok dan COVID-19.
“Penelitian Qianwen Zhao dari Sichuan University, Chengdu, Cina, penyakit paru obstruktif kronis dan merokok memperburuk kondisi dan hasil akhir pasien COVID-19,” kata dia.
Selain itu, Ede juga mengutip perkataan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia yang menyampaikan bahwa pasien COVID-19 yang perokok cenderung mengalami gejala penyakit COVID-19 yang lebih parah daripada pasien nonperokok.
Selain itu ada juga penelitian di Cina yang membuktikan perokok diperkirakan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi mengalami pneumonia akibat COVID-19 ketimbang nonperokok.

“Kami menyerukan, pengendalian konsumsi produk tembakau harus dimasukkan ke dalam penanganan COVID-19 demi meredam penularan dan kematian yang diakibatkan virus itu,” ujar Ede.
Sementara Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menyampaikan, dirinya sepakat mendukung pemerintah untuk mengendalikan COVID-19.
Namun, Hasbullah memohon agar pemerintah lebih tegas mengendalikan faktor risiko penularan.
“Kalau tidak dikendalikan dengan baik atau digencarkan mengingatkan masyarakat, jangan sampai merokok itu akan menjadikan beban bagi pemerintah,” tutur dia.
“Karena jika sakit biayanya cukup banyak. Pemerintah harus melarang iklan rokok, perketat kawasan tanpa rokok dan upaya lain yang memungkinkan kalau bisa berhenti merokok.”