Pemerintah Diminta Tidak Ragu Naikan Harga Rokok
Pemerintah Diminta Tidak Ragu Naikan Harga Rokok

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mendesak pemerintah menaikan cukai rokok paling tidak 20 persen per tahun agar tujuan utama Undang Undang Cukai, yaitu mengendalikan konsumsi rokok dan menurunkan prevalensi perokok 1 persen per tahun dapat tercapai.

Ia menambahkan pemerintah tidak perlu gagap atau takut kebijakan itu berefek buruk pada petani dan pekerja rokok. “Penelitian Bank Dunia sudah membuktikan bahwa angka kemiskinan di kalangan petani tembakau dan pekerja rokok jauh lebih tinggi dari angka kemiskinan umum. Masyarakat pasti mendukung pemerintah,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 18 Juli 2018.

Hasbullah dan tim Komnas Pengendalian Tembakau serta Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia melakukan beberapa penelitian dan gerakan untuk mendukung penuh upaya Kementerian Keuangan untuk menaikan cukai rokok.

Kebijakan itu dinilai bisa ikut menyelesaikan banyak masalah kemiskinan sekaligus menghindari ancaman terhadap stunting dan kemiskinan di masa mendatang.

Masyarakat terus mendukung gerakan #RokokHarusMahal yang dicanangkan Komnas Pengendalian Tembakau untuk mendorong kenaikan harga rokok setinggi-tingginya demi perlindungan keluarga miskin dan anak-anak.

Hal itu terlihat dari para tokoh perempuan melallui deklarasi seribu perempuan mendukung #RokokHarusMahal pada Hari Kartini, April lalu. Dukungan gerakan ini juga berlangsung secara daring pada petisi di change.org/rokokharusmahal yang kini telah mencapai hampir delapan ribu pendukung.

Kenaikan harga rokok juga mendukung bantuan sosial pemerintah melalui Kartu Indonesia Sejahtera tidak digunakan untuk membeli rokok dan Pemerintah memiliki dana cukai lebih banyak untuk berbagai program publik.

Komnas Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) membuat survei tentang dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok kemarin, 17 Juli 2018. Dari hasil survei ini diketahui bahwa masyarakat Indonesia mendukung harga rokok dinaikkan agar anak-anak tidak lagi membeli rokok.

Sangat menggembirakan bahwa para perokok juga setuju agar harga rokok naik pada harga tertentu untuk membantu mereka berhenti merokok. Hal ini dibuktikan dalam hasil survei yang dilakukan PKJS-UI selama bulan Mei 2018 pada 1000 responden.

Survei yang bertujuan untuk mengukur seberapa besar dukungan masyarakat terhadap kenaikan harga rokok dan mengetahui sikap perokok terhadap dampak kenaikan harga rokok memperlihatkan bahwa 88 persen responden mendukung kenaikan harga rokok agar anak-anak tidak membeli rokok.

Jika dikelompokkan pada perilaku merokok; 80,45 persen perokok, 93,01 persen non-perokok, dan 92,63 persen yang sudah berhenti merokok setuju harga rokok dinaikan lagi.

Renny Nurhasanah, anggota tim peneliti PKJS-UI, mengatakan sebanyak 66 persen dari 404 responden perokok akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok naik menjadi Rp60.000 per bungkus. “Selain itu ada pula 74 persen dari 404 responden perokok yang mengatakan akan berhenti merokok apabila harga rokok naik menjadi Rp70.000 per bungkus,” kata Renny menjelaskan hasil survei.

Dari survei itu terlihat dukungan yang positif dari para perokok sendiri untuk menaikkan harga rokok dari harga saat ini yang rata-rata hanya Rp 17.000 per bungkus.

Masyarakat yang akan berhenti membeli rokok saat harga rokok tinggi menunjukkan bukti bahwa rokok adalah zat adiktif, karena mereka akan membeli juga harga rokok yang tinggi, sampai batas kondisi keuangannya tidak cukup leluasa.

Dalam survei ini terdapat 44,61 persen responden yang berasal dari para perokok aktif berpenghasilan keluarga di bawah Rp 2,9 juta. Selain itu ada 41,88 responden perokok aktif yang berpenghasilan keluarga hingga Rp 3 – 6,9 juta. Selain itu responden yang berpenghasilan di atas Rp 7 juta berjumlah 30,91 persen.

Hal ini membuktikan bahwa keluarga berpendapatan dan berpendidikan rendah cenderung merokok. Tidak mengherankan jika Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa rokok menyumbang kemiskinan.

Temuan kajian PKJS-UI sebelumnya juga membuktikan bahwa keluarga perokok meningkatkan prevalensi stunting (kerdil) dan tingkat inteligensia yang rendah pada anak mereka. Hal ini mengancam rencana pemerintah untuk menghasilkan Generasi Emas di tahun 2045 mendatang.

Menurut Hasbullah, jika para perokok dari kalangan keluarga miskin mampu membeli rokok sebungkus sekitar rata-rata Rp 17.000 per hari atau Rp 510.000 per bulan; namun mengaku tidak mampu membayar iuran JKN Rp50.000 per bulan atau Rp 200.000 per keluarga, maka masyarakat kita tidak normal.

“Pemerintah seharusnya berani menaikan harga rokok yang berarti secara tidak langsung pemerintah dapat menghimpun dana lebih banyak untuk pembangunan,” kata Hasbullah.

Dalam kesempatan yang sama, Ruddy Gobel, Chief of Communications and Partnership, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan bahwa masalah rokok sangat dekat dengan persoalan kemiskinan.

Ini disebabkan karena dominasi pengeluaran untuk rokok di kalangan masyarakat miskin sangat besar yang merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah beras.

Jumlah itu kira kira 11 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin. “Pengeluaran masyarakat miskin untuk rokok yang sedemikian besar, mengurangi kemampuan masyarakat miskin untuk pengeluaran makanan bergizi seperti telur, pendidikan anak, dan kesehatan,” kata Ruddy.

Menurut Ruddy, bila kondisi ini dibiarkan terus akan menyebabkan masyarakat miskin tersebut tetap akan berada dalam siklus kemiskinan dari generasi ke generasi.

Kami setuju pemerintah menaikkan harga rokok setinggi mungkin sebagai salah satu langkah konkrit untuk mengurangi konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin. “Sehingga pengeluarannya dapat dialihkan untuk konsumsi makanan bergizi, biaya pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada upaya pengentasan kemiskinan,” katanya.

Di sisi lain, jumlah perokok pemula diketahui meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 8,8 persen pada 2016 (Sirkesnas, 2016). Padahal sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menargetkan penurunan prevalensi perokok anak usia di bawah 18 tahun sebesar 1 persen setiap tahunnya.

Ini menunjukkan, rokok murah juga mendorong anak-anak yang mampu membeli rokok dan merasa ‘ketagihan’ sehingga merokok sudah seperti kebiasaan yang dilakukan seterusnya.

Sumber : https://gaya.tempo.co/read/1108291/pemerintah-diminta-tidak-ragu-naikan-harga-rokok