REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Senior Center for Health Economics and Health Policy, Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, mengatakan, Indonesia harus mulai mengurangi konsumsi rokok lantaran dampak yang kurang baik untuk kesehatan. Namun, di sisi lain, langkah itu jangan mengesampingkan nasib para petani tembakau dan buruh rokok yang membutuhkan lapangan pekerjaan.
Hasbullah mengatakan, pihaknya kurang setuju dengan Roadmap Industri Hasil Tembakau yang tengah disusun pemerintah. Menurutnya, yang harus difokuskan pemerintah adalah upaya untuk mengurangi konsumsi rokok karena di berbagai dunia, tingkat konsumsi rokok terus mengalami penurunan.
“Seharusnya (disusun) roadmap pengurangan konsumsi rokok, tapi juga memperhatikan petani dan buruh bagaimana agar mereka bisa berpindah dan alih tanam ke pertanian yang menguntungkan tanpa ada risiko kesehatan,” kata Hasbullah dalam Webinar Center For Indonesian Policy Studies, Selasa (8/9).
Hasbullah mengatakan, mengurangi konsumsi rokok bertalian erat dengan kualitas generasi Indonesia pada 30-40 tahun yang akan datang. Sebab, dampak negatif terhadap kesehatan dari konsumsi rokok baru terlihat dalam jangka waktu menahun.
Pemerintah telah memiliki instrumen cukai rokok untuk mengendalikan konsumsi. Ia menekankan, esensi dari cukai adalah denda kepada konsumsi karena dia berperilaku tidak sehat. Berbeda dengan pajak yang merupakan pungutan atas kenikmatan dari konsumen.
“Oleh karena itu, seharusnya cukai rokok menurun, bukan meningkat. Cukai itu denda dan harus diturunkan konsumsinya,” kata Hasbullah.
Dia pun menampik dalih mempertahankan industri rokok dengan alasan petani tembakau yang harus dilestarikan. Hasbullah mengatakan, petani maupun buruh rokok bekerja di bidang pertembakauan untuk mencari pendapatan.
Atas dasar itu, semestinya bisa mendapatkan alternatif lain yang juga bisa menghasilkan pendapatan. Untuk itu, peran negara perlu ada dan mendampingi para petani tembakau maupun buruh rokok.
Bekerja di sektor tembakau pada saat ini juga kurang menguntungkan. Laporan Bank Dunia menyebutkan, pendapatan petani tembakau di Indonesia dari rata-rata Rp 51.689.071 per tahun pada 2016 turun menjadi Rp 39.753.496 per tahun.
Turunnya pendapatan itu salah satunya dipicu oleh faktor iklim di Indonesia serta kebanyakan lahan yang dimiliki petani kurang dari 2 hektare.
“Pendapatan petani terus menurun, tapi pendapatan industri rokok naik terus, jadi kita mau buat kebijakan untuk yang lebih banyak atau sedikit? Menurut saya industri rokok lebih sedikit daripada petani,” ujarnya.
Hasbullah pun menilai, industri rokok di negara maju kebanyakan saat ini telah menjadi sunset industry. Mereka rata-rata telah mengalihkan bisnis ke sektor lain. Hanya di negara berkembang yang industri rokok masih tumbuh pesat karena konsumsinya yang masih tinggi oleh berbagai lapisan masyarakat.