JAKARTA, DAKTA.COM – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, pemerintah perlu memperjelas arah kebijakan pertembakauan nasional. Hal ini penting untuk memaksimalkan output dari beberapa sektor yang terlibat di dalam kebijakan pertembakauan. Penerbitan regulasi untuk memacu produksi daun tembakau tidak juga membuahkan hasil. Sebagaimana produksi, target untuk menurunkan prevalensi perokok juga tidak tercapai. Prevalensi perokok di Indonesia masih terbilang tinggi, yaitu hampir 50% di atas prevalensi global.
Berdasarkan data FAOSTAT 2017, Indonesia menjadi produsen daun tembakau terbesar keenam di dunia dengan jumlah produksi mencapai 152.319 ton. Namun upaya untuk meningkatkan potensi ini terhambat oleh beberapa hal, seperti teknologi yang sudah ketinggalan zaman dan kurangnya insentif yang diberikan pemerintah kepada petani. Di tengah keterbatasan di bidang produksi, industri tembakau tetap berkontribusi pada penyediaan lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak.
“Akan tetapi, merokok tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian dan penyakit serius di Indonesia karena pembakaran rokok menghasilkan tar. Industri pengolahan tembakau secara tidak langsung berperan atas munculnya penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat. Pengeluaran untuk kesehatan yang terkait langsung dengan kebiasaan merokok di Indonesia berjumlah sekitar USD1,2 miliar per tahun. Sementara itu, kerugian ekonomi tidak langsung akibat konsumsi rokok mencapai USD6,8 miliar,” katanya dalam keterangannya yang diterima, Rabu (9/9).
Menurutnya, Pemerintah berusaha mengendalikan konsumsi rokok lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 yang membatasi iklan dan promosi produk tembakau, melarang penjualan di bawah usia 18 tahun, dan mewajibkan informasi himbauan kesehatan pada kemasan.
Bab VI dalam peraturan tersebut juga mengatur program kesadaran masyarakat yang bertujuan untuk menurunkan ketertarikan konsumen untuk merokok. Indonesia kini juga dihadapkan pada kenaikan angka perokok di bawah umur.
“Tidak efektifnya regulasi yang sudah ada menunjukkan pemerintah gagal memaksimalkan potensi dari kedua sektor, seperti mendorong produksi daun tembakau maupun melindungi kesehatan masyarakat. Pemerintah perlu memperjelas arah kebijakan pertembakauan nasional,” jelasnya.

Kebijakan di Indonesia tentang perkebunan tembakau dan industri rokok tidak terkoordinasi dengan baik dan berada di kondisi yang dilematis. Pendapatan cukai dari produk tembakau mencapai Rp143,66 triliun atau setara dengan USD10,33 miliar pada tahun 2019 dan merupakan 95,5% dari seluruh pendapatan cukai. Hal tersebut membuat cukai rokok menjadi salah satu sumber pendapatan pemerintah.
Terlebih lagi, Kementerian Perindustrian melaporkan bahwa ada 1,7 juta orang yang bekerja baik di sektor produksi daun tembakau maupun cengkeh pada Maret 2019. Petani tembakau menerima dukungan dari pemerintah daerah yang menerima dana melalui pembagian 2% dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).
Untuk memperjelas arah fokus kebijakan pertembakauan Indonesia, Pingkan menyampaikan beberapa rekomendasi yang dapat diimplementasikan pemerintah. Pertama adalah, perlunya dukungan teknis untuk petani tembakau berupa upaya peningkatan kemampuan dan adaptasi teknologi yang mereka gunakan.
Adanya dukungan teknis diharapkan dapat membantu para petani ini untuk menanam tembakau yang dapat digunakan sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui atau untuk mengekstraksi nikotin untuk produk rokok elektrik yang tidak mengandung tar alih-alih untuk rokok konvensional.
Dukungan finansial untuk petani tembakau bisa didapatkan melalui upaya-upaya seperti peninjauan kembali alokasi DBHCHT untuk pertanian dan perpajakan untuk membiayai program transisi tembakau di mana diperlukan.

Sementara itu terkait sektor kesehatan, Kementerian Kesehatan perlu mengevaluasi kembali dan meningkatkan kampanye kesadaran publik yang sejauh ini belum mencapai objektifnya.
Selanjutnya, Kementerian Kesehatan harus melakukan lebih banyak penindakan kampanye untuk melawan penjualan rokok kepada konsumen di bawah umur. Tidak hanya Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan harus mengkaji dampak kenaikan harga dan tarif cukai terhadap prevalensi merokok serta penjualan produk tembakau ilegal yang lebih murah serta lebih berbahaya.
Pingkan menambahkan, Kementerian Kesehatan seharusnya mengevaluasi potensi dampak kesehatan dari produk alternatif yang tergolong pengurangan-dampak buruk (harm reduction). Melihat respons positif di Inggris, pemerintah Indonesia sebaiknya mempelajari apakah konsumen perlu didorong untuk beralih dari menghirup tar yang berbahaya ke rokok elektronik atau sistem penghantar nikotin elektronik (electronic nicotine delivery system/ENDS).
“Pemerintah sebaiknya mengkaji berbagai cara untuk mengurangi risiko terkait produk rokok elektrik yang saat ini sudah beredar di masyarakat dan juga untuk membatasi penggunaannya hanya bagi konsumen dewasa. Pelarangan total terhadap rokok elektrik tidak direkomendasikan karena hal tersebut akan mengeliminasi pilihan untuk menggunakan produk pengurangan-dampak buruk,” ujarnya.

Sementara itu Peneliti Center for Health Economic dan Policy Studies (CHEPS) Prof. Hasbullah Thabrany mengatakan, perbedaan paradigma antar institusi dan antar pejabat membuat penanganan isu tembakau menjadi semakin pelik.
Masing-masing cenderung hanya memikirkan kepentingan institusinya dan hal tersebut menyebabkan minimnya koordinasi. Padahal diperlukan adanya pemahaman yang komprehensif karena penanganan isu tembakau melibatkan beberapa sektor, seperti pertanian, industri dan kesehatan.
Ia merekomendasikan penggunaan 5-10% dari hasil cukai tembakau untuk memberikan pelatihan dan pendampingan kepada petani dan pekerja tembakau untuk berpindah kepada komoditas dan industri lain yang juga menguntungkan tetapi tidak merusak kesehatan. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan petani dan pekerja tembakau tetap mendapatkan penghidupan.
“Kontribusi cukai rokok yang besar bukan berasal dari industri rokok, melainkan dari para perokok. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang mampu mengakomodir kepentingan industri dan kesehatan. Untuk kesehatan, PP 109 perlu diperkuat karena selama ini penegakan hukumnya lemah,” tegasnya.