Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) mengatakan kenaikan cukai tidak berakibat menurunnya produksi rokok di Indonesia tapi berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh serta pada petani.
Hal itu menanggapi pernyataan beberapa pihak tentang kenaikan cukai akan berdampak pada pemutusan kerja pada buruh.
“Buruh dan petani selalu saja diperalat. Faktanya, produksi rokok industri besar dalam lima tahun terakhir tetap tinggi, tetapi jumlah karyawan menurun.,” kata Anggota Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau, Prof. Hasbullah Thabrany, di Jakarta, Jumat (28/7/2017).
Hasbullah Thabrany mengatakan perusahaan rokok telah menggunakan mesin yang canggih sehingga volume penjualan dan laba bersih terus naik, meskipun cukai rokok mesin ini sudah mencapai 56% dari harga.
Sementara, rokok linting tangan yang cukainya cuma sekira 40% dari harga, tidak berkembang dan banyak mengalami PHK, bukan karena cukai tetapi karena mereka kalah bersaing dengan perusahaan besar.
Dia mengimbau federasi buruh dan petani agar membuka mata dan mempelajari baik-baik masalah ini.
“Jangan sampai industri terus-terusan memperalat mereka sebagai ‘senjata’ untuk menjatuhkan upaya-upaya pengendalian tembakau yang bertujuan melindungi masyarakat, termasuk buruh dan petani sendiri,” kata dia.
Cukai rokok adalah salah satu instrumen kebijakan pengendalian atas konsumsi rokok di Tanah Air, termasuk instrumen kesehatan sebagai alat perlindungan masyarakat dari bahaya rokok.
Perokok tak berhenti zat adiktif dalam rokok mengakibatkan permintaan terhadap produk ini inelastik, artinya perokok tidak akan berhenti membeli rokok dengan perubahan harga yang sangat kecil.
Indonesia adalah negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi.
Perilaku merokok penduduk 15 tahun ke atas masih belum terjadi penurunan dari 2007 sampai 2013,bahkan malahan cenderung meningkat dari 34,2% pada 2007 menjadi 36,3% pada 2013.
Sebanyak 64,9% laki-laki dan 2,1% perempuan masih mengisap rokok pada 2013.
Sedangkan rata-rata jumlah batang rokok yang diisap adalah sekira 12,3 batang (Riskesdas, 2013).
Indonesia juga merupakan negara terbesar keempat tertinggi konsumsi rokok per orang (Tobacco Atlas, 2014). Usia mulai merokok di Indonesia makin muda. Ditemukan 1,4 persen perokok umur 10-14 tahun (Riskesdas, 2013).
Tingginya jumlah perokok di Indonesia salah satu penyebabnya adalah harga rokok yang masih sangat terjangkau oleh masyarakat miskin dan anak-anak.
Tren kenaikan cukai di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya.
Menurut laporan WHO pada 2017, Indonesia hanya mengenakan cukai 57% sementara negara lainnya misalnya Bangladesh sebanyak 77%, Sri Lanka sebanyak 63%, dan Thailand sebanyak 73%.
Meskipun kekuatan industri rokok sangat tinggi, pemerintah harus tetap berperan sebagai regulator. Langkah menaikkan cukai rokok harus dilakukan pemerintah untuk dapat menekan jumlah perokok dan mengurangi dampak bawaan dari konsumsi rokok, misalnya kenaikan penyakit tidak menular yang tinggi dan kemiskinan kombinasi penghasilan dari 6 perusahaan besar rokok di Indonesia pada 2013 mencapai 342 miliar dolar AS atau setara dengan 38% Gross National Income Indonesia (Tobacco Atlas, 2013). Tidak mengherankan apabila industri rokok memiliki kekuatan yang kuat untuk menekan sebuah negara.
Dengan demikian, dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk memperkuat komitmen pejabat publik dan kesadaran masyarakat bahwa kenaikan cukai dibutuhkan sebagai mekanisme pengendalian dari konsumsi rokok yang tinggi di Indonesia.