Jakarta, HanTer – Komnas Pengendalian Tembakau bersama 18 Organisasi Kemasyarakatan (CISDI, FAKTA, GM FCTC, IAKMI, IISD, IPM, ITBAD, JP3T, PEBS UI, Puan Muda, RMI, SFA, SFJ, NOTC, PKJS UI, TCSC IAKM, YLA, YLKII) mendesak Pemerintah Indonesia agar menghentikan eksploitasi industri rokok. Apalagi selama ini pemerintah dinilai kurang tuntas melaksanakan upaya pengendalian tembakau dengan menyeluruh. Desakan yang dilakukan mereka juga dalam rangka “Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2019”.
Dr. Renny Nurhasana dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) mengatakan, Pemerintah mendatang diharapkan belajar dari kesalahan pemerintah-pemerintah sebelumnya, yang telah gagal melindungi masyarakat dari eksploitasi industri rokok. Akibatnya kenaikan prevalensi perokok anak terus meningkat pesat.
“Penerapan kebijakan yang lemah berbanding lurus dengan kejayaan industri rokok yang semakin kuat mencengkeram kehidupan masyarakat, terutama kelompok rentan yaitu anak, perempuan dan orang miskin,” ujar Dr. Renny Nurhasana dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/5/2019).
Dr Renny memaparkan, melonjaknya prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun hingga mencapai 9,1% pada tahun 2018 adalah cerminan buruknya upaya pengendalian tembakau di Indonesia. Prevalensi perokok pria di Indonesia masih terus yang tertinggi di dunia (62,9%) dan prevalensi perokok nasional stagnan sebesar 33,8%. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di seluruh dunia.
Eksploitas industri rokok yang masif dan terus menerus pada anak-anak Indonesia terbukti sukses besar. Menurut Tobacco Atlas, Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok anak terbesar di dunia, hingga 2016 besarnya mencapai 8,8%. Di tahun 2018 angkanya mencapai 7,8 juta (9,1%) anak Indonesia dengan status merokok (Riskesdas, 2018). Dua dari 5 anak Indonesia usia 10-15 tahun merokok sebanyak 13 batang/ hari atau 4.745 batang setahun (GYTS, 2014). Jika tidak ada upaya serius, pada tahun 2030 jumlah perokok anak akan mencapai 15, 8 juta atau 15,91% (Bappenas, 2018).
“Sudah saatnya Pemerintah tegas dan berani menghentikan setiap bentuk eksploitasi industri rokok pada anak-anak di Indonesia,” paparnya.
Salah satu bentuk tegas pemerintah, sambung Dr Renny, dengan menerapkan larangan total dan menyeluruh iklan promosi dan sponsor rokok di semua media (cetak, elektronik, internet, luar ruang dan dalam ruang), yang jelas-jelas menargetkan anak dan remaja untuk menjadi pelanggan jangka panjang produk rokok. Berbagai studi mengatakan ada hubungan antara terpaan iklan rokok dan sikap anak pada perilaku merokok.
Adapun masalah utama pengendalian rokok di Indonesia, lanjut Dr Renny, harga rokok yang murah dan terjangkau karena cukainya sangat rendah,penerapan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok yang lemah, tidak ada larangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Informasi yang minim tentang bahaya merokok kepada masyarakat dan Indonesia adalah 1 dari 8 negara di seluruh dunia yang belum mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), kerangka internasional pengendalian tembakau yang diinisiasi oleh WHO.
Sementara rekomendasi kepada Pemerintah terpilih 2019 – 2024, pertama, mendorong kenaikan cukai rokok setinggi-tingginya dan merevisi UU No. 39 tahun 2007 tentang Cukai untuk menaikan batas minimal besaran Cukai menjadi 70% sesuai rekomendasi WHO. Kedua, mendorong penerapan Kawasan Tanpa Rokok di setiap Provinsi, Kota/ Kabupaten yang mencakup juga larangan iklan rokok luar ruang dan dalam ruang.
Ketiga, larangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok di semua media (cetak, elektronik, internet). Keempat, memperketat pengawasan dan aktivitas penjualan produk tembakau, termasuk larangan memajang produk rokok. Kelima, memperkuat aturan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok, sesuai rekomendasi WHO, sebagai sarana edukasi publik yang efektif dan efisien mengenai bahaya merokok. Keenam, mendorong pemerintah segera melakukan aksesi FCTC sebagai bentuk komitmen Pemerintah Indonesia akan upaya pengendalian tembakau di tingkat global.