Pemerintahan saat ini dinilai telah gagal mengendalikan konsumsi rokok dan melindungi kelompok rentan terhadap bahaya rokok. Oleh karena itu, presiden terpilih Joko Widodo dan pemerintahan yang baru untuk lima tahun ke depan diminta tidak lagi mengulang kegagalan yang sama. Pemerintah ke depan diharapkan lebih tegas dalam pengendalian rokok di Indonesia.
Salah satunya adalah dengan menaikkan cukai rokok hingga 70% sesuai rekomendasi WHO. Saat ini, rata-rata cukai rokok di Indonesia masih berkisar di angka 40%.
Perwakilan dari Koalisi Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau, Ifdhal Kasim, menambahkan, Indonesia belum mempunyai strategi memadai untuk menghadapi gempuran industri rokok karena belum meratifikasi kerangka konvensi internasional pengendalian tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diinisiasi WHO untuk menurunkan prevalensi perokok di setiap negara. Akibatnya, Indonesia absen dalam merumuskan kebijakan kontrol terhadap intervensi industri rokok.
“Karena dengan ratifikasi FCTC, maka mau tidak mau pemerintah akan membuat kebijakan turunannya yang sifatnya lebih komprehensif dalam pengendalian tembakau di dalam negeri,” kata Ifdhal pada temu media “Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2019,” di Jakarta, Rabu (15/5).
Menurutnya, intervensi industri rokok terlihat dari lemahnya implementasi regulasi terkait pengendalian rokok. Salah satunya mengenai kenaikan cukai rokok yang tak kunjung direalisasikan. Cukai yang masih rendah mengakibatkan harga jual rokok murah, sehingga memudahkan akses anak-anak dan kelompok rentan untuk membeli rokok.
Karena itu, bertepatan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2019, jaringan pengendalian tembakau juga memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya dan merevisi UU 39/ tentang Cukai untuk menaikkan batas minimal besaran cukai menjadi 70% sesuai rekomendasi WHO.
Kedua, mendorong penerapan KTR setiap provinsi, kabupaten/kota yang mencakup juga larangan iklan rokok luar ruang dan dalam ruang. Larangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok di semua media (cetak, elektronik, internet). Lalu, memperketat pengawasan dan aktivitas penjualan produk tembakau, termasuk larangan memajang produk rokok, serta memperkuat aturan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok, sesuai rekomendasi WHO, sebagai sarana edukasi publik yang efektif dan efisien mengenai bahaya merokok.
Terakhir, mendorong pemerintah segera melakukan aksesi FCTC sebagai bentuk komitmen pemerintah Indonesia akan upaya pengendalian tembakau di tingkat global.
Komprehensif
Selanjutnya, Indonesia dinilai belum memiliki regulasi maupun upaya pengendalian rokok yang komprehensif. Indonesia memang sudah punya regulasi nasional yang khusus untuk mengendalikan produk tembakau, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012. Namun, regulasi itu dinilai tidak komprehensif, masih ramah terhadap industri rokok, dan lemah dalam penegakan hukumnya.
Karena itu, jaringan pengendalian tembakau Indonesia, yang terdiri dari Komnas Pengendalian Tembakau, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau, No Tobacco Community, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), dan belasan oiganisasi kemasyarakatan lainnya mendesak presiden untuk menghentikan eksploitasi industri rokok.
Mewakili jaringan pengendalian tembakau, Renny Nurhasana dari PKJS UI, mengatakan, pemerintah selama ini kurang tuntas melaksanakan upaya pengendalian tembakau dengan menyeluruh. Penerapan kebijakan yang lemah berbanding lurus dengan kejayaan industri rokok yang semakin kuat mencengkeram kehidupan masyarakat, terutama kelompok rentan, seperti anak, perempuan, dan penduduk miskin.
Melonjaknya prevalensi perokok anak di tahun 2018 adalah cerminan buruknya upaya pengendalian temba-
kau di Indonesia. Eksploitasi industri rokok yang masif dan tenis menerus pada anak-anak terbukti sukses besar. Menurut Tobacco Atlas, Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok anak terbesar di dunia. Hingga 2016 jumlahnya mencapai 8,8%, dan meningkat menjadi 9,1% pada 2018 atau sebanyak 7,8 juta anak usia 10-15 tahun menurut data Riskesdas 2018.
Sementara menurut data Global Youth Tobacco Survey (GYTS), 2 dari 5 anak Indonesia usia 10-15 tahun merokok sebanyak 13 batang per hari atau 4.745 batang setahun. Jika tidak ada upaya serius, menurut Bappenas, pada 2030 jumlah perokok anak diprediksi mencapai 15, 8 juta atau 15,91%.
Selain itu, prevalensi perokok pria di Indonesia masih terus yang tertinggi di dunia (62,9%) dan prevalensi perokok nasional stagnan sebesar 33,8%. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di seluruh dunia.
“Pemerintah mendatang hams belajar dari kesalahan pemerintahan sebelumnya yang telah gagal melindungi masyarakat dari eksploitasi industri rokok. Sudah saatnya pemerintah tegas dan berani menghentikan ini semua,” kata Renny.