Jakarta, 29 September 2020 – Hari ini, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Komnas Pengendalian Tembakau, Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI, dan Yayasan Lentera Anak mengadakan “Simposium menuju Pemilu Harga: Hadiah untuk Indonesia”. Simposium yang mengundang para pemangku kebijakan terkait ini bertujuan untuk mengumpulkan dukungan masyarakat untuk kenaikan harga rokok melalui kebijakan cukai demi melindungi masyarakat dari konsumsi rokok yang merugikan kesehatan dan ekonomi.
Indonesia adalah negara dengan konsumsi rokok kedua tertinggi di dunia (Tobacco Atlas 2016), 62.9% laki-laki usia >15 tahun adalah perokok (Riskesdas 2018). Selain itu, 9,1% anak usia 10-18 tahun juga telah mulai merokok (Riskesdas 2018). Tingginya konsumsi rokok di Indonesia disinyalir memperparah kondisi kemiskinan karena mayoritas perokok termasuk dalam golongan ekonomi menengah ke bawah, sementara adiksi rokok mendorong perokok untuk terus mengorbankan belanja kebutuhan primer untuk membeli rokok.
Keluarga penerima bantuan sosial yang merokok cenderung memiliki kondisi sosio-ekonomi yang lebih buruk jika dibandingkan dengan penerima bantuan sosial yang tidak merokok. Studi lanjutan PKJS-UI terhadap 10 anggota keluarga penerima bantuan sosial di Kota Malang dan Kabupaten Kediri menunjukkan, keluarga penerima Program Keluarga Harapan masih belum mampu memenuhi kebutuhan penting akibat tingginya pengeluaran untuk belanja rokok (PKJS UI 2019).
Selain menjadi beban bagi keluarga miskin, tingginya konsumsi rokok dalam jangka panjang akan menyebabkan penyakit kronis tidak menular yang membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi. Seperti hasil kajian CISDI menggunakan data tahun 2019 (CISDI, Forthcoming), beban ekonomi merokok yang mencakup biaya langsung (direct cost) dan tidak langsung (indirect cost), mencapai 446.73 triliun rupiah atau sama dengan 2.9% pendapatan nasional bruto. Beban biaya ini diperkirakan akan terus meningkat jika prevalensi perokok saat ini tidak dikendalikan.
Salah satu faktor penyebab tingginya konsumsi rokok di Indonesia adalah tingkat keterjangkauan yang tinggi. Rokok dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja, bahkan oleh anak-anak dan remaja, dan keluarga miskin, dengan harga yang sangat murah. Dengan Rp1000 saja per batang, rokok dapat dibeli secara eceran. Sementara menurut hasil survei yang dilakukan oleh PKJS UI (2018), perokok berpikir untuk berhenti merokok jika harga rokok dinaikan hingga Rp70.000 per bungkus. Angka ini tentu masih jauh dari kenyataan.
Fakta-fakta dan data-data di atas ditampilkan secara kreatif dalam simposium “Hadiah untuk Indonesia” hari ini melalui para “pembicara” perwakilan masyarakat. Mereka mengungkapkan bagaimana dampak konsumsi rokok akibat murahnya harga rokok di Indonesia dan bagaimana jika sebaliknya, hadiah apa saja yang akan diterima Indonesia jika harga rokok mahal.
Kebijakan cukai produk tembakau sebagai pungutan terhadap barang yang konsumsinya harus dikendalikan adalah kebijakan strategis yang dapat mempengaruhi penentuan harga rokok di pasaran. Dengan kenaikan tarif cukai produk tembakau, Indonesia berpotensi serta-merta mendapatkan berbagai hadiah bernilai, yaitu pemulihan ekonomi dan kesehatan dari dampak pandemi COVID-19, meningkatkan kualitas hidup petani melalui DBHCHT, mendorong pencapaian target RPJMN dan SDGs, serta dengan ini negara memberikan perlindungan kelompok rentan (anak-anak, perempuan, keluarga miskin). Hadiah turunannya adalah penurunan prevalensi perokok anak, penekanan stunting dan penyakit-penyakit tidak menular berisiko kematian, serta peningkatan pembangunan daerah melalui pajak rokok daerah. Dengan begini, sebagai bangsa yang besar dan bertanggung jawab pada 270 juta rakyatnya, Indonesia benar-benar dapat pulih kembali, bukan hanya dari pandemi COVID-19, tapi kehidupan secara keseluruhan.
Selama ini, proses penentuan tarif cukai dilakukan Kementerian Keuangan (UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai). Seperti yang digambarkan dalam CISDI Magazine vol.1, penentuan tarif cukai rokok di Indonesia setiap tahunnya selalu diwarnai perdebatan antara pendukung upaya pengendalian tembakau dan pendukung industri rokok. Keengganan Kementerian Keuangan untuk mengambil kebijakan cukai yang efektif kebanyakan dikarenakan kekhawatiran akan rokok ilegal dan dampaknya terhadap industri kecil serta pekerja dan petani yang bergantung pada industri tembakau.
Untuk mendukung pemerintah dan membuktikan bahwa kekhawatiran-kekhawatiran tersebut tidak benar, dalam simposium ini masyarakat diajak untuk memberikan dukungan melalui PulihKembali.org dan meyakinkan pemerintah bahwa menaikkan cukai produk tembakau adalah pilihan mutlak bagi Indonesia, terutama di masa sulit menuju resesi saat ini. Semakin tinggi kenaikan cukai, semakin besar hadiah yang didapatkan.
Turut hadir dalam simposium, para penanggap dari pemerintah:
- dr. Rizkiyana Sukandhi Putra, M.Kes. Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan
- Hendratmojo Bagus Hudoro, Direktur Tanaman Semusim & Rempah, Kementerian Pertanian
- Ari Wulan Sari, Kepala Subbidang Penyakit Tidak Menular, Kemenko Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan
- Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kementerian PPN Bappenas
- Desi Zulfiani, Kabid Insentif dan Analisis Kebijakan Fiskal, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
- Hendra Jamals, Asisten Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
- Sarno, SST., M.Sc., M.Buss, Ak. CA, Analis Kebijakan Ahli Muda, BKF, Kementerian Keuangan
- Hary Kustowo, Pemeriksa Bea & Cukai Madya/Ahli Madya DTFC, Kementerian Keuangan
Rekaman rangkaian simposium dapat diputar ulang di: http://bit.ly/CISDITV-Simposium
Narahubung: sekretariat@komnaspt.or.id