Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menilai keputusan pemerintah menggunakan pajak rokok untuk menutup defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan telah melangkahi undang-undang yang lebih tinggi.
“Pajak rokok daerah merupakan hak daerah sesuai mandat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,” kata Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Komnas Pengendalian Tembakau Widyastuti Soerojo dihubungi di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Karena itu, Komnas Pengendalian Tembakau menilai penggunaan pajak rokok daerah untuk menutup defisit BPJS Kesehatan merupakan kebijakan yang tidak bijaksana, apalagi dituangkan melalui Perpres.
Bila pun pemerintah menggunakan dana pajak rokok daerah untuk menutup defisit BPJS Kesehatan, seharusnya hal itu merupakan kebijakan yang bersifat sementara atau darurat.
“Kebijakan ini dikukuhkan melalui Perpres, bukan sebagai upaya darurat mengatasi krisis. Akibatnya bisa fatal bila pajak rokok diharapkan mengikuti kebutuhan untuk menambal defisit,” tuturnya.
Widyastuti mengatakan pemerintah seharusnya membuat keputusan yang berani untuk memotong permasalahan defisit BPJS Kesehatan dari hulu.
Dalam Perpres Jaminan Kesehatan pemerintah seolah-olah akan terus membebani pembiayaan dan penyelesaian masalah kesehatan di hilir dengan memerintahkan semua daerah menyerahkan pajak rokok tanpa batasan waktu.
“Di dalam Perpres tersebut tidak jelas indikasi meningkatkan premi untuk mengatasi masalah sistemik yang terjadi,” katanya.
Dalam Perpres No.82/2018, pemerintah daerah diminta program jaminan kesehatan dengan berkontribusi dari pajak rokok. Besarannya 75% dari 50% realisasi penerimaan pajak rokok daerah.
“Kontribusi daerah…dianggarkan sebagai belanja bantuan sosial fungsi kesehatan,” demikian bunyi pasal 101 Perpres yang ditetapkan 17 September tersebut.
Catatan Bisnis medio Agustus, Kepala Sub Direktorat Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Sunaryo menepis anggapan selama ini yang menyatakan bahwa pajak rokok hak pmerintah daerah, semua hal karena sifat cukai adalah pengendalian jadi sifatnya earmarking
“Harusnya memang dibedakan antara pajak rokok dan DBH. Pajak rokok walaupun pajak daerah tetap earmarking,” kata Sunaryo di Jakarta, Senin (13/8/2018).
Meski telah sesuai dengan ketentuan, Sunaryo mengakui kebijakan ini akan berdampak ke jumlah dana yang akan diterima daerah dari DBH maupun pajak rokok.