Jakarta, 12 Desember 2021 – Hari ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Yayasan Kanker Indonesia (YKI), dan Yayasan Jantung Indonesia (YJI) didukung oleh Komnas Pengendalian Tembakau melakukan konferensi pers untuk mendesak Pemerintah agar SEGERA melanjutkan proses revisi PP 109/2012 untuk menjalankan amanat UUD45 dan UU Kesehatan melindungi rakyat (khususnya anak dan penduduk miskin) dari risiko bahan zat adiktif menurunkan daya saing SDM Indonesia. Sangat kami sayangkan bahwa Menteri Sekretaris Negara mengembalikan draft revisi dan meminta mendengar pihak “yang merusak kesehatan rakyat”. Hal ini merupakan paradoks kebijakan di negeri ini. Di seluruh dunia, Pemerintah dengan tegas melindungi rakayatnya dari bahaya asap rokok, yang sudah merupakan temuan universal seluruh dunia. Meminta pertimbangan “orang yang merusak kesehatan” untuk menyehatkan dirinya dan rakyatnya adalah suatu pemikiran yang tidak lazim.
Keppres No. 9/2018 tentang Program Nasional Penyusunan PP Tahun 2018 mencakup revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Namun sampai saat ini, sudah tiga tahun, revisi PP 109/2012 belum juga selesai. Telah delapan kali Pertemuan Antar Kementerian (PAK) tidak mencapai kesepakatan. Berbagai kegiatan masyarakat untuk mendukung revisi PP109/2012 untuk memperkuat upaya negara menyehatkan dan membuat rakyat produktif, belum juga mendapat perhatian Presiden.
“Para pemikir kesehatan dan produktifitas rakyat telah mengadakan puluhan webinar dan diskusi menyajikan hasil-hasil riset dan somasi 1 dan 2 ditambah pelaporan ke Ombudsman mohon jawaban Presiden tentang mandegnya revisi PP109/2012 yang seharusnya menjadi prioritas negara?” ujar Prof. Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau saat memberikan pengantar
dalam konferensi pers. “Banyak pejabat salah faham tentang cukai rokok, yang dinilainya sebagai sumbangan industri rokok. Keliru besar. Cukai rokok adalah uang denda bagi penduduk yang tidak mengikuti protokol kesehatan, hidup sehat dan tidak merusak kesehatan orang lain. Bapak Presiden harus faham hal ini, jangan dikecohkan pemahamannya”, lanjut Hasbullah Thabrany.
Draft revisi PP 109/2012 yang diajukan kepada Presiden, dikembalikan ke Kementerian Kesehatan sebagai leading sector dengan alasan memerlukan kajian lebih lanjut dan pelibatan pihak terkait. Padahal, sesuai peraturan yang berlaku, Penyusunan RPP sudah melibatkan berbagai sektor. Apakah ini akal-akalan? Atau ada intervensi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan finansial dari bisnis zat adiktif? Presiden harus menjawab hal ini agar tidak terjadi prasangka. Presiden harus menjalankan UU Kesehatan yang antara lain mencegah penduduk dari penggunaan zak adiktif yang merusak kesehatan. Tugas negara adalah menyehatkan dan membuat rakyat produktif, bukan membiarkan rakyat banyak, khususnya anak dan penduduk miskin dibanjiri informasi atau dipengaruhi iklan konsumsi bahan berbahaya kesehatan.
Kecurigaan rakyat akan adanya pihak yang bermain dan Pemerintah tidak cukup peduli dengan cemaran bahan adiktif bagi rakyat semakin jelas dengan mempertontonkan peresmian pabrik IQOS, sebuah produk HTP (heated tobacco product) keluaran PT HM Sampoerna (Philip Morris International). Tampaknya Pemerintah haus uang tanpa cukup peduli dengan rusaknya perilaku generasi muda yang akan terperangkap dengan konsumsi zat adiktif.
Menurut Dr. dr. Sally Aman Nasution, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP, Ketua Umum PAPDI, “Paradoks yang terjadi menunjukkan ketidakberpihakan Pemerintah dalam upaya pengendalian konsumsi produk tembakau, yang selama ini telah dibuktikan memiliki efek bola salju yang seharusnya menjadi perhatian Pemerintah.”
Mendukung pernyataan tersebut, Prof. Dr. dr. Aru W. Sudoyo, SpPD-KHOM, Ketua Yayasan Kanker Indonesia menyampaikan, “Negara kita terus mengalami berbagai masalah kesehatan yang tinggi dengan faktor risiko merokok; mulai dari terus naiknya prevalensi penyakit tidak menular (PTM) mematikan, biaya kesehatan, stunting, sampai keparahan COVID-19. Tdak boleh dilupakan juga keterkaitan merokok dengan kanker paru sebagai kanker nomor satu di Indonesia.”
Karena itu, organisasi-organisasi kesehatan yang tergabung dalam konferensi pers ini sepakat bahwa revisi PP ini menjadi sangat mendesak demi menekan prevalensi perokok, terutama perokok anak yang saat ini mencapai 9,1 persen dan masuknya rokok jenis baru dalam berbagai bentuk yang merupakan manuver industri untuk menawarkan zat adiktif nikotin.
Sebagai catatan, urgensi untuk merevisi PP 109/2012 ini selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang salah satu targetnya ialah menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada tahun 2024. “Peningkatan prevalensi perokok anak (7,2 persen di tahun 2013 menjadi 9,1 persen di tahun 2018) adalah bukti lemahnya pengendalian konsumsi produk tembakau di Indonesia,” sebut dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
dr. Isman Firdaus, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), menyatakan, “Masyarakat kita sudah terlalu lama terjebak dalam adiksi produk tembakau, mohon Pemerintah untuk tidak pula ikut terlena. Jaminan kesehatan kita sudah ngos-ngosan dan dari pandemi, kita telah belajar pentingnya melakukan kendali masalah kesehatan.” Karena itu, menurutnya, aturan pengendalian konsumsi produk yang merusak seperti revisi PP109 ini seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah.”
Meskipun sejak 2012 Indonesia sudah memiliki PP 109/2012, tetapi ketentuan-ketentuan dalam regulasi ini terbukti gagal melindungi anak dari adiksi rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak. Seperti yang kita tahu, iklan, promosi, dan sponsor rokok (IPS) di Indonesia masih diperbolehkan (walaupun memiliki batasan tertentu), akses rokok sangat mudah karena murah dan dapat dibeli di mana saja tanpa batasan, bahkan perilaku merokok masih dianggap biasa (normal).
Dalam kesempatan yang sama, menurut Dr. Ede Surya Darmawan, S.KM, M.KM, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), semua hal di atas dikarenakan lemahnya peraturan yang ada. “Kami mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menangani masalah konsumsi rokok yang tak juga diseriusi ini. Jangan sampai kita terus pontang-panting di urusan kuratif, lupa bahwa ada urusan preventif yang sebenarnya sangat bisa mencegah masalah-masalah kesehatan yang ada saat ini,” tegasnya.
Dalam revisi PP 109/2012, penguatan regulasi terutama pada butir-butir mengenai:
- Perluasan peringatan kesehatan bergambar sebagai edukasi masif bahaya merokok
- Pelarangan iklan rokok di internet dan media luar ruang untuk mencegah perokok pemula
- Pelarangan promosi dan sponsor rokok sebagai denormalisasi rokok
- Larangan penjualan rokok ketengan dan penjualan kepada anak untuk menekan akses
- Larangan penambahan perasa yang mendorong anak mulai merokok
- Pengaturan rokok jenis baru (electronic nicotine delivery system – ENDS maupun heated
tobaaco product – HTP) untuk mencegah ketagihan baru atau bahkan double burden
“Kami menghargai Kementerian Kesehatan telah meluncurkan GERMAS, namun gerakan saja tidak cukup. Regulasi yang kuat sangat dibutuhkan untuk pengendalian tembakau yang progresif.” jelas Esti Nurjadin, Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia (YJI).
Menutup konferensi pers ini, dr. Daeng M. Faqih, S.H, M.H, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, menegaskan, “Revisi PP ini jelas untuk menguatkan perlindungan kita semua. Kami mohon dengan sangat, atas nama kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi impian kita semua dan visi Pak Presiden demi peningkatan kualitas SDM, tuntaskan revisi PP 109/2012 segera!”