Jakarta, 9 November 2021 – Hari ini, Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) bekerja sama dengan Aksi Kebaikan Smoke Free Campus UIN Jakarta, menyelenggarakan kegiatan “Dialog Tokoh dan Akademisi: Rokok dalam Perspektif Islam dan Kendali Konsumsi melalui Kenaikan Cukai.” Kegiatan yang dihadiri cendekiawan muslim sekaligus Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Azyumardi Azra; Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Wawan Gunawan Abdul Wahid; dan pakar kesehatan masyarakat sekaligus Ketua Umum Komnas PT, Hasbullah Thabrany, dimaksudkan untuk menggali pemikiran tokoh Islam tentang perlindungan umat dari bahaya konsumsi rokok, serta kajian dari para akademisi mengenai kebijakan kendali konsumsi.
Konsumsi rokok sudah tidak terbantahkan memiliki dampak negatif bagi kesehatan baik untuk perokok aktif maupun perokok pasif yang terpajan oleh asap rokok. Rokok juga menjadi barang konsumsi terbesar kedua setelah beras pada masyarakat ekonomi lemah di Indonesia (BPS, 2018). Selain menjadi beban bagi keluarga miskin, tingginya konsumsi rokok dalam jangka panjang akan menyebabkan penyakit kronis tidak menular yang membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi. Seperti hasil kajian CISDI pada 2019 (CISDI, Forthcoming), beban ekonomi merokok yang mencakup biaya langsung (direct cost) dan tidak langsung (indirect cost), mencapai 446.73 triliun rupiah atau sama dengan 2.9% pendapatan nasional bruto. Beban biaya ini diperkirakan akan terus meningkat jika prevalensi perokok saat ini tidak dikendalikan.
Sebagai suatu kepercayaan yang melekat pada mayoritas masyarakat di Indonesia, agama Islam dalam kitab suci Al-Quran juga sudah menyampaikan agar umatnya tidak memboros-boroskan harta bagi suatu hal yang mubazir. Sebagaiamana yang dituliskan dalam surat Al-Isra ayat 26 – 27, “Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” Sudah semestinya umat muslim tidak memboroskan hartanya apalagi untuk hal yang sudah jelas merugikan kesehatan maupun ekonominya secara individu maupun keluarga.
Hal ini selaras dengan yang disampaikan Prof. Hasbullah Thabrany sebagai pembuka pada Sesi 1 Dialog Tokoh, “Kami melihat perilaku merokok yang mengkhawatirkan khususnya dari segi kesehatan, hal ini tentu sangat mubazir karena terbukti ada 400 triliun rupiah dibakar per tahun oleh perokok di Indonesia. Saya juga heran, padahal rokok tidak ada label halalnya tapi kenapa masih banyak yang mengkonsumsinya sambil mencari makanan halal? Umat muslim semestinya bisa bersikap dan hindari perilaku mubazir. ”
Pada kesempatan ini, Ustad Wawan Gunawan Abdul Wahid juga menyampaikan alasan mengapa PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram untuk merokok serta dukungannya terhadap kendali konsumsi rokok, “Muhammadiyah memposisikan ijtihad haram rokok dalam rangka 100 tahun kami. Fatwa haram rokok ini sendiri adalah bentuk koreksi terhadap pandangan masyarakat mengenai rokok. Setidaknya ada 5 aspek yang semuanya adalah keburukan dalam merokok, yaitu: Rokok adalah zat adiktif mengandung racun yang melemahkan tubuh sehingga bertentangan dengan hadis yang melarang setiap perkara yang memabukkan dan melemahkan; Merokok bisa sama dengan membunuh diri secara pelan-pelan, QS Al-Baqarah 195 dan An-Nisa 29; Rokok adalah barang yang jelek dan merusak; Ketika merokok akan bertentangan dengan ajaran-ajaran syariah; Agama melarang menginvestasikan sesuatu tapi tidak bermanfaat, ini merupakan perbuatan mubazir (pemborosan) yang dilarang dalam Al Quran, QS Al-Isra 26-27.”
Adapun Prof. Dr. Azyumardi Azra selaku Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyampaikan kritik dari perspektif lainnya, “Pemerintah seharusnya mencari cara yang lebih kreatif, bukan justru ketergantungan dengan tembakau. Seperti mulai memberikan program mengganti tanaman tembakau dengan tanaman lainnya, itu sangat bisa tapi sayangnya tidak diusahakan. Masalah rokok ini adalah masalah political will pemerintah, apakah mau memulai cara kreatif lain agar tidak melulu bergantung pada rokok yang sudah jelas punya dampak negatif. Apalagi saat ini kesadaran masyarakat akan kesehatan juga sudah membaik, tinggal kesadaran pada pemerintah supaya tidak lagi bersandar pada pajak rokok, pada perusahaan rokok. Saya kira Presiden Jokowi perlu angkat bicara tentang hal ini, dan yang di bawah-bawah mengikuti. ”
Di Sesi 2: Diskusi Akademisi, Dosen FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaenal Muttaqin menyampaikan, “Beban ekonomi yang diakibatkan rokok paling besar ditanggung oleh keluarga, khususnya adalah keluarga pra sejahtera. Sehingga dibutuhkan pengaturan yang melindungi kelompok paling terdampak. Al Quran memang tidak menuliskan policy pricing, tetapi adanya (kebutuhan) kepastian hukum. Pendekatan penegakan hukum juga perlu berjalan berbarengan dengan berbagai kebijakan lainnya sehingga memiliki dampak pada pengendalian konsumsi rokok. Karena lagi-lagi, ada kerugian yang diderita, seperti mental health dan loss of value of life yang hitungan kerugiannya bukan lagi hanya nominal uang.”
Sementara itu, akademisi dari Universitas Gajah Mada, Gumilang Aryo Sahadewo, juga menyayangkan masih adanya pengambilan kebijakan yang tidak berdasarkan bukti ilmiah terkait penghidupan petani tembakau. “Alih-alih bukti ilmiah, seringkali justru bersumber pada anekdot yang engaging dan emosional tetapi tidak menjelaskan konteks masalah secara umum.” Temuan penelitian Gumilang dan kawan-kawan juga menunjukkan hal menarik soal petani tembakau, “Petani tembakau mengindikasikan bahwa beralih-tanam justru menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi, karena bertanam tembakau memiliki sistem grading yang tidak menguntungkan dan cuaca yang tidak mendukung. Banyak petani yang juga sudah semakin memahami potensi sektor komoditas lain non tembakau yang bisa lebih menguntungkan bagi mereka.”
Di lain sisi, Renny Nurhasana, akademisi dari Universitas Indonesia dan peneliti dari PKJS-SKSG UI menyatakan bahwa, “Prevalensi perokok laki-laki di Indonesia saat ini (33,8%) adalah prevalensi perokok laki-laki yang sama dengan Thailand 30 tahun yang lalu. Indonesia harus mengambil langkah progresif untuk segera menurunkan prevalensi perokok ini, salah satu peluangnya adalah melalui kebijakan fiskal, yaitu kenaikan cukai rokok yang konsisten naik setiap tahunnya dan hal ini juga harus dibarengi dengan adanya simplifikasi golongan tarif cukai. Masalah rokok memang bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan single policy, karena itu hal lain yang juga bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan meratifikasi FCTC, melakukan pelarangan penjualan rokok batangan, merevisi PP 109 tahun 2012, dan kebijakan non fiskal lainnya.”
Sejatinya, perspektif Islam serta hasil-hasil riset para akademisi di lapangan menunjukkan adanya keselarasan bahwa benar konsumsi rokok adalah berbahaya dan harus dikendalikan. Maka dari itu, kebijakan pemerintah tentu menjadi kunci utama pada perubahan sosial yang diharapkan, yaitu masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera. Dukungan umat Islam yang besar, pegiat pengendalian tembakau dan kelompok masyarakat sipil lainnya pada advokasi kendali konsumsi rokok ini juga dapat membantu tercapainya masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera.