Jakarta, 31 Agustus 2020 – Komnas Pengendalian Tembakau, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Yayasan Kanker Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Green Cresent Indonesia (GCI), dan Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI) hari ini menyatakan desakannya kepada Menteri Kesehatan Republik Indonesia untuk segera mengerjakan PR (pekerjaan rumah) yang belum juga dia selesaikan, yaitu revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Sudah lebih dari dua tahun, revisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2012 yang mengatur tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan berlangsung, tapi tampaknya tak juga mengalami kemajuan. Sesuai Keppres No. 9 tahun 2018 untuk merevisi PP No 109 tahun 2012, seharusnya proses revisi dilaksanakan selama satu tahun sejak 3 Mei 2018 namun sampai saat ini belum juga selesai. Setelah dilakukan delapan kali PAK (pertemuan antar-kementerian) untuk membahasnya, proses revisi PP109 kini justru terindikasi melambat bahkan berhenti.
Untuk diketahui, substansi PP109/2012 perlu diperkuat di banyak sisi. Di dalam Kepres 9/2018 di atas, revisi PP ini perlu dilakukan pada aturan peringatan kesehatan bergambar. Dalam perkembangannya, Kementerian Koordinator Pengembangan Manusia dan Kebudayaan dalam suratnya kepada Kementerian Kesehatan, sebagai leading sector proses revisi, juga telah meminta perbaikan juga dilakukan pada aturan larangan iklan rokok di internet dan mengkaji aturan pengendalian konsumsi rokok elektronik sebagai produk baru hasil tembakau.
Saat ini, RPJMN 2020 – 2024 juga kembali menegaskan revisi PP109/2012 yang harus dilakukan pemerintah, yang di dalamnya mengandung butir-butir pengendalian konsumsi produk tembakau, di antaranya larangan total iklan rokok, pembesaran peringatan kesehatan bergambar, dan juga penguatan layanan berhenti merokok. Maka jelas bahwa secara hukum, revisi PP109/2012 harus dilakukan untuk mencapai target RPJMN 2020 – 2024, termasuk target penurunan prevalensi perokok anak sebesar 0.4 persen.
“Melambatnya proses revisi PP109/2012 memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mawas dalam kemendesakan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia yang sudah sangat parah, yang terutama justru ini terjadi di kementerian yang harusnya berpihak pada kesehatan masyarakat. Kami mempertanyakan, siapa yang memerintah Menteri Kesehatan sehingga ia tampak seolah bersikap ignorant dan tidak segera menyelesaikan PR-nya untuk merevisi PP ini?” ungkap Tubagus Haryo Karbyanto, pengurus Komnas Pengendalian Tembakau.
Terlebih, pandemi COVID-19 yang hebat yang juga dialami Indonesia seharusnya menjadi momen untuk memperkuat upaya pengendalian konsumsi produk tembakau, salah satunya melalui revisi PP109/2012. Hal ini sangat relevan mengingat hubungan erat sebab-akibat antara konsumsi rokok dengan infeksi serta keparahan komorbid COVID-19. Menurut Dr. dr. Sally Aman Nasution, SpPD, KKV, FINASIM, FACP, Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), “Penyakit tidak menular semakin tinggi di Indonesia, ditambah dengan adanya pandemi COVID-19. Pemerintah diharapkan benar-benar berkomitmen untuk menurunkan PTM di Indonesia, yang banyak terkait dengan konsumsi rokok yang tinggi di negara kita. Karena itu, memperkuat aturan pengendalian konsumsi adalah mutlak, revisi PP109/2012 harus segera diselesaikan.”
Dr. Feni Fitriani Taufik, Sp.P(K), Pengurus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menambahkan, “Beberapa negara bahkan sudah melarang penjualan dan impor rokok selama pandemi COVID-19 dan pandemi ini yang harusnya mendorong pemerintah justru mempercepat semua proses pengaturan kendali konsumsi rokok, termasuk revisi PP ini.”
Selanjutnya, Ketua Umum YKI Prof. Dr. dr. Aru Sudoyo, SpPD, KHOM, FINASIM, FACT pun memberikan dukungan yang senada, “Yayasan Kanker Indonesia mendukung revisi PP109/2012 dalam memperketat aturan terkait rokok, mengingat rokok yang mengandung lebih dari 60 zat beracun telah berdampak pada angka kejadian kanker tertinggi Indonesia untuk laki laki, yakni kanker paru sebesar 19,4 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 10,9 per 100.000 penduduk(1).”
Lebih jauh, upaya perlindungan anak dari ancaman konsumsi rokok yang seharusnya menjadi fokus pemerintah juga belum dipahami dengan baik oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas proses revisi PP109/2012. Cita-cita Kemenkes RI untuk menerapkan larangan merokok pada anak usia 18 tahun ke bawah hanya akan menjadi jargon semata jika iklan, promosi, dan sponsor rokok masih diperbolehkan, serta akses anak memperoleh rokok masih sangat mudah dan peringatan kesehatan bergambar tidak dimaksimalkan.
“Kami sangat menyayangkan, sepertinya Menteri Kesehatan tampak tidak menganggap penting situasi ini. Ketika anak-anak kita masih sangat lemah perlindungannya dari bahaya rokok, Menteri Kesehatan justru lambat melakukan revisi PP109/2012 yang saat ini masih longgar melakukan pengaturan pengendalian konsumsi rokok,” ungkap Unifah Rosidi, Ketua Umum PB PGRI.
Dalam kesempatan berbeda, Esti Nurjadin, Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia (YJI) menyatakan dukungannya melalui surat yang telah dikirimkan kepada Presiden Republik Indonesia. Dalam surat tersebut tertulis. YJI mengapresiasi RPJMN 2020-2024 yang isinya telah berpihak pada kesehatan masyarakat, terutama dari bahaya rokok. Dan karenanya, YJI juga menyampaikan dukungannya pada amandemen PP109/2012 sesuai amanat RPJMN demi menyelamatkan jutaan anak Indonesia dari bahaya rokok yang merupakan faktor risiko penyakit jantung, terutama di masa pandemi.
dr. Era Catur Prasetya SpKJ, Presiden Green Crescent Indonesia menambahkan, “Revisi PP 109/2012 adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar, terlebih jika Indonesia menginginkan penurunan prevalensi perokok anak sebesar 0.4 % tahun 2024. Kebijakan pengaturan tentang iklan; sponsor rokok; gambar peringatan akibat merokok yang diperbesar, larangan penjualan eceran dan bawah umur serta pengaturan harga, telah terbukti secara ilmiah di berbagai negara dapat mengendalikan konsumsi Tembakau. Revisi PP ini juga penting agar masyarakat mendapat kemudahan untuk mengakses layanan ketrampilan prevensi remaja, program berhenti merokok serta menjamin ketersediaan obat-obatan yang digunakan dalam program berhenti merokok. Oleh karena itu Green Crescent Indonesia mendesak Pemerintah segera merevisi PP 109 /2012 ini agar masyarakat dan generasi penerus bangsa terlindungi dari efek merugikan akibat merokok.”
Dalam kesempatan yang sama, anggota Aliansi Masyarakat Korban Rokok yang merupakan penyintas kanker laring sebagai akibat menjadi perokok pasif, Bapak Zainuddin, menyatakan, “Permintaan kami sederhana. Kami tidak ingin generasi di bawah kami menderita seperti kami. Jangan ada lagi korban seperti kami. Cukup kami saja yang jadi korban. Untuk itu, Pak Menteri Kesehatan, segera revisi PP109/2012 ini, larang semua iklan rokok, besarkan peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok, dan jangan lagi rokok dibolehkan dijual per batang. Pak Menteri, Anda punya peran yang sangat besar menyelamatkan generasi yang akan datang.”
Narahubung: sekretariat@komnaspt.or.id