Jakarta, 21 November 2025 –
Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), dan Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menyampaikan kritik keras terhadap publikasi hasil kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menyimpulkan bahwa rokok elektrik atau vape memiliki kandungan zat berbahaya yang jauh lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Temuan ini dipromosikan sebagai penelitian pertama di Indonesia yang menilai tingkat toksisitas produk tembakau alternatif berdasarkan sembilan senyawa berbahaya yang diakui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun, penelitian tersebut memunculkan conflict of interest karena melibatkan Aliansi Vaper Indonesia sebagai pihak kedua, sehingga integritas dan objektivitasnya patut dipertanyakan. Keterlibatan industri atau kelompok yang memiliki kepentingan terhadap produk yang diuji adalah pelanggaran standar etik penelitian kesehatan.
Data Riset Departemen Pulmonologi FKU/RS Persahabatan menunjukkan fakta sebaliknya. Pengguna vape rutin harian memiliki kadar kotinin urin 276,1 ng/mL, lebih tinggi dibandingkan perokok konvensional 5 batang per hari (223,5 ng/mL). Angka ini menunjukkan bahwa paparan nikotin pada pengguna vape justru lebih besar, sehingga risiko:
1. ketergantungan nikotin
2. penyakit vaskular
3. gangguan kardiovaskular
Survei RSUP Persahabatan tahun 2018 juga memperlihatkan bahwa 76,5% pengguna vape laki-laki mengalami ketergantungan nikotin — sebuah indikator yang menegaskan bahwa bahaya vape tidak bisa diabaikan.
Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), Penasihat Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, menegaskan, “Kajian BRIN tidak memasukkan nikotin dalam analisisnya, padahal nikotin adalah komponen utama yang menyebabkan adiksi dan memicu penyakit kardiovaskular, stroke, serta penyempitan pembuluh darah. Tanpa menilai nikotin, tidak bisa disimpulkan bahwa rokok elektronik lebih tidak berbahaya.”
Tulus Abadi, Sekjen Komite Nasional Pengendalian Tembakau menekankan juga menegaskan bahwa, “Penelitian yang melibatkan Aliansi Vaper Indonesia jelas mengandung konflik kepentingan. BRIN seharusnya menjaga independensi riset, bukan justru menghasilkan kesimpulan yang berpotensi menyesatkan publik dan menguntungkan industri. Ketika nikotin saja tidak diukur, bagaimana bisa menyatakan vape lebih aman?”
Manik Marganamahendra, Ketua Indonesia Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menyoroti bahwa pernyataan BRIN sangat berpotensi menyesatkan publik, terutama bagi orang muda yang kini pengguna rokok elektroniknya meningkat tajam dari 480 ribu (2011) menjadi 6,6 juta orang (2021). “Narasi seperti ini memberi ilusi keamanan pada produk yang justru menjadi pintu masuk adiksi nikotin bagi orang muda. Sementara di lapangan produk ini dipromosikan secara agresif melalui influencer, kemasan modern, varian rasa yang dirancang menarik remaja, iklan terselubung di konten musik, gaming, hingga event orang muda. Paparan ini diperkuat oleh e-commerce yang masih menjual produk ini tanpa verifikasi usia yang ketat, menjadikan vape hadir sebagai produk lifestyle modern yang mudah diakses oleh generasi muda,” tegas Manik
Mouhamad Bigwanto, Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) menyatakan jika Penelitian ini kelihatan sekali seperti pesanan industri dan memiliki banyak kelemahan mendasar. “Pertama, jumlah sampelnya sangat kecil (hanya 60) sehingga tidak mewakili ribuan produk yang beredar di pasaran. Kedua, pengujian toksikan hanya mencakup 9 zat, padahal penelitian lain menunjukkan vape dapat mengandung ratusan bahan kimia lain dan beberapa diantaranya tidak ada di rokok konvensional, seperti logam berat yang berasal dari coil pemanas. Terakhir, hasil ini tidak mencerminkan kondisi penggunaan nyata, seperti durasi penggunaan, jenis device, maupun pengaturan watt, yang sangat mempengaruhi jumlah zat berbahaya yang dihasilkan. Peneliti sekelas BRIN harusnya paham soal ini, tapi kan ini dibelakangnya ada industri”, tutur Bigwanto.
Sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, BRIN seharusnya berdiri di garis terdepan dalam melindungi publik melalui riset yang independen, transparan, dan bebas dari keberpihakan industri. Ketika sebuah lembaga penelitian negara justru menghasilkan kajian yang sarat konflik kepentingan dan berpotensi menyesatkan masyarakat, maka BRIN bukan hanya gagal menjalankan amanat ilmiah, tetapi juga mengingkari mandat konstitusionalnya untuk menjaga kesehatan bangsa.
Kami menegaskan bahwa lembaga penelitian negara tidak boleh menjadi corong bagi industri yang produk-produknya terbukti mematikan dan adiktif. BRIN harus kembali pada perannya: memastikan masyarakat memperoleh informasi berbasis bukti yang mendorong kehidupan sehat — bukan sebaliknya


