“New Normal”: Hidup Normal Tanpa Manipulasi Industri Rokok

Jakarta, 31 Mei 2020 – Tepat tiga hari sebelum Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang diperingati hari ini, kita menerima video viral berisi gambar anak-anak merokok dengan santai bersama orangtua mereka, yang diyakini terjadi di sebuah daerah di Indonesia. Video seperti ini tidak hanya muncul sekali ini, tapi sudah beberapa kali di media sosial. Apakah kejadian-kejadian ini semata kesalahan orangtua seperti kebanyakan komentar orang? Atau ada sesuatu yang salah di negara ini sehingga hal ini terjadi?

Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebutkan jumlah perokok Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 33 persen (ketiga tertinggi di dunia) atau 1 dari 3 orang Indonesia merokok, dengan perokok pria sebesar 63 persen atau 2 dari 3 pria Indonesia merokok. Yang perlu menjadi perhatian penuh adalah perokok bagaimana jumlah perokok anak usia 10 – 18 tahun naik dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018), atau sudah hampir 1 dari 10 anak Indonesia merokok. Usia tersebut tampaknya tidak mencakup usia anak yang lebih muda seperti yang muncul pada video-video yang viral, sehingga sangat mungkin perokok pemula di negara kita jauh lebih tinggi.

Kecaman kepada orangtua saja bukan hal yang bijak. Perlu dilihat, bagaimana hal tersebut terjadi?

Berbagai riset membuktikan bahwa iklan, promosi, sponsor, dan harga rokok yang murah antara lain adalah hal-hal yang mempengaruhi anak mulai merokok, sehingga mendorong tingginya jumlah perokok di sebuah negara. Sayangnya, di Indonesia, iklan, promosi, dan sponsor rokok masih sangat masif, serta harga rokok masih sangat terjangkau di kantong anak-anak. Berbagai taktik dilakukan industri rokok demi menggaet anak muda untuk mulai merokok dan menjadi kecanduan, mulai dari membuat iklan yang bergaya anak muda keren dan sebagainya, meletakkan iklan-iklan di sekitar sekolah, sampai membuat promosi harga per batang di iklan-iklannya.

Melalui program-program semacam-CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) yang sangat gencar, industri rokok pun melegitimasi dirinya dengan pembuat kebijakan dan publik untuk melawan perhatian negatif seputar produk-produknya yang mematikan, dan untuk membangun citra baik di antara para pembuat kebijakan dan masyarakat.

Dari Tobacco Industry Interference Index yang diterbitkan Southeast Asia Tobacco Control Alliance, tampak bahwa intervensi yang dilakukan industri rokok di Indonesia sangat tinggi dan bahkan selalu paling tinggi se-ASEAN sejak 2014. Dalam temuan mereka, kedekatan industri dengan pemerintah, keterlibatan dalam program-program pemerintah melalu semacam-CSR, memposisikan mantan pejabat pemerintah sebagai komisioner perusahaan, dan berbagai taktik lainnya dilakukan oleh industri rokok di Indonesia secara masif dan terbuka, yang pada akhirnya berpengaruh pada kebijakan yang mengatur industri rokok.

Tidak mengherankan, sampai saat ini aturan pengendalian tembakau di Indonesia masih juga sangat lemah dan akhirnya berdampak pada tingginya jumlah perokok, termasuk perokok anak Hal ini kemudian memicu berbagai masalah di Indonesia, seperti tingginya angka penyakit tidak menular di Indonesia yang kemudian berdampak pada defisitnya BPJS, sulitnya program pengentasan kemiskinan, tingginya prevalensi stunting, hingga berdampak pada kerugian ekonomi makro Indonesia sampai 600 triliun.

Mengenai hal ini, dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, berkata, “Cara-cara manipulatif yang dilakukan industri rokok demi melanggengkan bisnis buruknya sangat berbahaya dan mengancam masa depan Indonesia, terutama karena yang mereka target adalah anak-anak kita.”

Untuk itu, dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Komnas Pengendalian Tembakau menyampaikan rekomendasi berikut kepada Pemerintah Indonesia:

  1. Menghentikan segala manipulasi industri rokok dengan memperketat aturan pengendalian tembakau, seperti menerapkan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok, serta meningkatkan cukai rokok dan mengimplemetasikan simplifikasi tarif cukai demi mencegah keterjangkauan harga rokok di masyarakat.
  2. Menutup setiap peluang yang memberi kesempatan kepada industri rokok untuk melakukan intervensi pada kebijakan, termasuk dengan tidak menempatkan industri rokok sebagai stakeholders dalam pengambilan kebijakan dan menghentikan endorsing (dukungan) terbuka kepada kegiatan-kegiatan semacam-CSR industri rokok.
  3. Menitikberatkan perhatian pembangunan kepada perlindungan dan pengembangan Sumber Daya Manusia, terutama pada sektor Kesehatan Publik dan Pendidikan, sehingga “SDM Unggul Indonesia” bukan sekadar semboyan kosong.
  4. Menerapkan terminologi “New Normal” versi pengendalian tembakau melalui kenormalan yang baru dalam hidup bangsa Indonesia yang terbebas dari manipulasi industri rokok dan jebakan candu produknya yang mematikan

“Kita adalah bangsa yang telah membuktikan memiliki rasa kasih sayang, tolong menolong, saling melindungi ketika menghadapi Bencana Nasional Pandemi COVID-19. Kekuatan ini seharusnya juga menjadi jiwa Pemerintah dalam membangun masyarakatnya, sehingga fokus “new normal” saat ini adalah mengembalikan perlindungan masyarakat Indonesia dari sisi kesehatan publik dengan tidak membenturkan kepentingan rakyat dengan industri yang merusak. Selamat Hari Tanpa Tembakau Sedunia, salam sehat untuk kita semua!” tutup dr. Hasbullah Thabrany.

Link : http://komnaspt.or.id/wp-content/uploads/2020/06/Siaran-pers_HTTS2020_Komnas-PT.pdf