Jakarta, 3 September 2020 – Hari ini, Komnas Pengendalian Tembakau, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Lentera Anak, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Pusaka Indonesia, Yayasan Kakak, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta meluncurkan hasil curvei terhadap tempat penjualan rokok di sekitar sekolah di Jakarta, Medan di Sumatra Utara, Banggai di Sulawesi Tengah, dan Surakarta di Jawa Tengah. Temuan ini menunjukkan bagaimana industri rokok menarget anak-anak kita melalui tempat-tempat penjualan di sekitar sekolah.

Anak-anak selalu menjadi sasaran empuk bagi industri tembakau untuk memasarkan produknya. Regulasi yang longgar membuat perusahaan rokok dapat dengan leluasa menjual dan memasang iklan rokok di lingkungan di mana banyak anak beraktivitas, seperti sekolah.

Dari hasil survei berjudul “Anak Indonesia Menjadi Target Industri Rokok”, ditemukan bahwa setiap satu sekolah setidaknya “dikepung” oleh dua tempat penjualan rokok. Dalam penelitian yang dilakukan pada April-Juni 2020 ini, jumlah sampel sekolah yang diteliti adalah 401 sekolah, yakni 255 di Jakarta, 93 di Medan, 24 di Surakarta dan 29 di Banggai. Sementara tempat penjualan rokok yang diteliti adalah berjumlah 805, yakni 449 di Jakarta, 159 di Medan, 48 di Surakarta dan 149 di Banggai.

Dari 805 tempat penjualan rokok tersebut, sebagian besar adalah tempat penjualan yang sifatnya tradisional dan tidak memerlukan izin tertentu. Di antaranya 323 toko kelontong, 182 warung rokok dan 171 kios. Sementara sisanya adalah swalayan kecil, supermarket, kafe, SPBU dan pedagang asongan.

Produk-produk tembakau tersebut dipajang dengan berbagai cara sehingga membuat pembeli, terlebih anak-anak, tak terlalu awas mengenai bahaya kesehatan yang terkandung di dalamnya. Rokok-rokok dipajang sejajar mata anak, bahkan berada di dekat permen dan makanan ringan. Beberapa tempat penjualan bahkan menyediakan rokok ketengan atau batangan, sehingga dapat dibeli dengan murah oleh anak-anak. Banyak tempat penjualan yang menyusun pajangan rokok dengan posisi yang menutupi peringatan Kesehatan bergambar. Ada pula yang menggunakan kotakkotak pajangan berlampu yang menarik perhatian.

Survei ini merupakan penelitian deskriptif untuk memberikan gambaran tempat penjualan rokok di sekitar sekolah di kota Jakarta, Kota Medan, Kota Surakarta, dan Kabupaten Banggai. Survei inimengunakan metodologi cross sectional di mana pengumpulan data dilakukan secara langsung dengan menggunakan aplikasi Kobo Toolbox. Pengambilan sampel dilakukan secara proporsional dari jumlah sekolah di setiap kota yang disurvei, kemudian dilakukan random sampling untuk mendapatkan sampel sekolah.

“Dari riset advokasi, maka terlihat dengan gamblang bahwa industri rokok, lewat tempat penjualan rokok, memang menargetkan anak-anak kita secara sistematis,” ungkap Tubagus Haryo Karbyanto, pengurus Komnas Pengendalian Tembakau, dalam presentasinya.

Survei ini juga menemukan bahwa produk tembakau yang dijual di sekitar sekolah adalah rokok (97,42%) dan rokok berperisa (0,52%). Meski rokok elektronik akhir-akhir ini juga kian marak beredar di pasar, namun peredarannya di sekitar lingkungan sekolah hanya sedikit (0,52%).

Adapun cara paling umum untuk mempromosikan produk tembakau di sekitar sekolah adalah dengan mengeluarkan edisi khusus/atau terbatas (86%).

“Untuk itu, diperlukan campur tangan pemerintah dengan adanya pelarangan memajang produk rokok di tempat penjualan, termasuk iklan dan model promosi lainnya – baik di tingkat nasional melalui dalam revisi PP 109/2012 atau pun dalam peraturan-peraturan daerah,” lanjutnya.

Tubagus mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Saat ini, pemerintah sedang dalam proses merevisi PP tersebut sebagai salah satu strategi untuk menekan prevalensi perokok anak sebesar 0.4 persen hingga 2024.

Tim survei memberikan empat rekomendasi yang harus segera dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencegah anak-anak terpapar display atau pajangan penjualan produk tembakau:

  1. Melarang menjual kepada anak dan melarang memajang produk tembakau di tempat-tempat penjualan.
  2. Melarang iklan/promosi produk tembakau dalam bentuk apapun di tempat-tempat penjualan.
  3. Melarang penjualan rokok batangan.
  4. Perlu ada kebijakan secara nasional yang lebih kuat untuk melarang iklan promosi sponsor dan display rokok melalui revisi PP 109/2012.

Tak hanya penjualannya, iklan rokok juga banyak ditemukan berapa di lingkungan sekitar sekolah. Pada kesempatan yang sama, tim peneliti dari Universitas Dian Nuswantoro di Semarang, Jawa Tengah, memaparkan hasil penelitian dengan tema serupa yang berjudul “Kepadatan Iklan Rokok di Sekitar Sekolah, Persepsi dan Perilaku Merokok Anak.”

Penelitian tersebut menemukan bahwa semakin dekat sekolah, semakin banyak iklan rokok dapat ditemukan. Hal ini berpengaruh signifikan terhadap perliaku siswa – siswa yang bersekolah di lokasi dengan kepadatan iklan rokok tinggi berisiko 2,16 kali merokok dibanding yang kepadatannya rendah.

“Iklan rokok sangat dekat dengan anak, bahkan 74% iklan rokok berada dalam radius 300 m dari sekolah. Kepadatan iklan rokok terbukti berpengaruh terhadap perilaku merokok siswa, maka perlu kebijakan pelarangan iklan rokok untuk melindungi anak dari jerat industri rokok,” kata Nurjanah, kepala tim peneliti.

Hadir pula seorang pelajar dari Semarang, Lathifa Drupadi, yang mewakili pelajar yang memberikan tanggapannya, bagaimana kenyataan di daerahnya juga menunjukkan hal yang sama dan harapannya kepada pemerintah untuk melindungi dirinya dan teman-temannya dari iklan-iklan rokok di sekitar mereka.

Narahubung: sekretariat@komnaspt.or.id