Dina Kania Petugas Profesional Nasional untuk Inisiasi Bebas Tembakau World Health Organization (WHO) mengatakan, aksesi Framework Convention on Tobbaco Control (FCTC/Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau) tidak akan berpengaruh terhadap petani tembakau.
“Ini (FCTC) murni untuk menyelamatkan generasi bangsa dari efek buruk konsumsi tembakau baik kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, di sela-sela lokakarya Resolusi 2017 Indonesia: Aksesi FCTC Demi Selamatkan Bangsa, Rabu (4/1/2017).
Lokakarya yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen bekerja sama dengan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau ini diselenggarakan di salah satu hotel di Surabaya.
Dina mengatakan, WHO tidak melihat aksesi atau ratifikasi FCTC di Indonesia akan berpengaruh pada produksi tembakau atau produksi rokok dalam negeri.
Kalaupun pada akhirnya demand (permintaan) dari dalam negeri berkurang akibat penerapan atau aksesi FCTC oleh Pemerintah Indonesia, Dina berpendapat, hal ini bisa disiasati dengan mengekspor tembakau ke luar negeri.
“Selama ini, produksi tembakau di Indonesia untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Bahkan, karena saking tingginya permintaan, pertanian tembakau dalam negeri sampai tidak mencukupi, akhirnya harus impor dari negara lain,” katanya.
Data WHO, yang menurut Dina berasal dari pemerintah Indonesia, menunjukkan, untuk memenuhi permintaan rokok dalam negeri, tembakau harus diimpor dari negara lain.
Data WHO pada 2010, Negara pengekspor tembakau terbesar ke Indonesia adalah Tiongkok dengan persentase 45 persen. Sisanya, dari negara-negara lain produsen tembakau seperti Brazil dan lain sebagainya.
Menurut Dina, fenomena impor tembakau ini justru akan merugikan petani tembakau di Indonesia. Ratifikasi FCTC menurutnya justru memberikan win win solution mengenai hal ini.
“Karena ada satu pasal di FCTC yang menyebutkan, pemerintah diwajibkan memberikan atau melakukan pendampingan terhadap petani tembakau dan buruh rokok agar mereka tidak terlupakan, agar mereka diperhatikan,” ujarnya.
Dina sempat mengatakan, aksesi FCTC justru akan melindungi petani tembakau di dalam negeri dari kecenderungan perdagangan tembakau global yang terjadi saat ini.
Dia mencontohkan, Tiongkok telah meratifikasi FCTC dan mulai menerapkan pengendalian tembakau di dalam negeri. Namun, produksi tembakau di negara tirai bambu itu justru meningkat.
Demikian halnya Turki sebagai salah satu negara produsen tembakau dunia. Kecenderungan produksi tembakau pascaratifikasi FCTC juga tetap meningkat meski permintaan rokok di dalam negeri menurun.
Lantas siapa yang mengkonsumsi tembakau negara-negara di atas? Karena konsumen rokok di Indonesia ini sangat besar. Maka negara-negara itu menjadikan Indonesia sebagai jujugan ekspor. “Larinya ke Indonesia. Kita jadi sasaran pasar rokok global,” ujarnya.
Dengan ratifikasi FCTC, pemerintah Indonesia bisa membatasi masuknya tembakau impor dan meningkatkan ekspor ke luar negeri. Walaupun, FCTC sebagai perjanjian internasional, tidak mengatur kebijakan mengenai perdagangan ekspor impor ini.
“FCTC memang tidak mengatur soal perdagangan ekspor impor tembakau ini. Yang diatur misalkan, produk rokok impor harus sama-sama menerapkan peringatan kesehatan bergambar,” ujarnya.
Perlu diketahui, perjanjian FCTC ini terutama mengikat pengaturan produksi, penjualan, distribusi, periklanan, dan perpajakan tembakau. Tujuannya, sebagaimana disebutkan Dina, untuk melindungi generasi saat ini dan yang akan datang dari dampak merusak tembakau.
Namun, Pemerintah Indonesia, melalui pernyataan Joko Widodo Presiden bernada minor menghadapi isu ratifikasi FCTC ini.