Komnas Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merilis hasil survei terkait dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok.
Hal ini dibuktikan dalam hasil survei yang dilakukan PKJS-UI selama Mei 2018. Survei dilakukan pada 1.000 responden dari seluruh Indonesia dengan metode random sampling (acak) melalui telepon.
Hasilnya, sebagian besar responden yang terdiri dari perokok, mantan perokok, dan bukan perokok mendukung adanya kenaikan harga rokok.
“Perokok aktif juga mendukung kenaikan harga cukai rokok jumlahnya sekitar 40 persen. Dari 40 persen itu kita tanyakan berapa persen yang mendukung kenaikan harga rokok, ternyata semuanya mendukung kenaikan harga rokok,” kata anggota Tim Peneliti PKJS-UI, Renny Nurhasanah, di Jakarta, Selasa (17/7).
Renny menambahkan, harga Rp 60.000 dan Rp 70.000 untuk per bungkus rokok membuat para perokok diyakini berhenti merokok.
“Sebanyak 66 persen dari 404 responden perokok akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 60.000 per bungkus dan sebanyak 74 persen dari 404 responden perokok mengatakan akan berhenti merokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 70.000 per bungkus,” katanya.
Tak hanya soal kenaikan harga rokok, survei PKJS-UI juga menemukan adanya kecenderungan perokok aktif pada responden yang memiliki penghasilan keluarga kurang dari Rp 2,9 juta sebesar 44,61 persen, dan Rp 3 juta sampai Rp 6,9 juta sebesar 41,88 persen.
Hal tersebut lebih tinggi dibandingkan responden yang memiliki penghasilan keluarga lebih dari Rp 7 juta dengan presentase hanya sebesar 30,91 persen. “Hal ini membuktikan bahwa keluarga berpendapatan dan berpendidikan rendah cenderung merokok. Tidak mengherankan jika BPS menyebutkan bahwa rokok menyumbang kemiskinan,” pungkas Renny.