MENURUT data WHO tahun 2015, lebih dari sepertiga anak laki-laki usia 13-15 tahun di Indonesia mengonsumsi produk tembakau.
Lebih dari 3,9 juta anak antara usia 10 dan 14 tahun menjadi perokok setiap tahun. Setidaknya ada 239.000 anak di bawah umur 10 tahun sudah mulai merokok. Di samping itu, lebih dari 40 juta anak di bawah 5 tahun menjadi perokok pasif.
Sedangkan survei tahun 2014 oleh Global Youth Tobacco, satu tinjauan berbasis representasi sekolah secara nasional pada hampir 6.000 siswa kelas 7-9 (usia SMP) di Indonesia, menemukan lebih dari 60 persen siswa melihat iklan atau promosi rokok di tempat penjualan. Mereka juga melihat orang merokok di televisi, video, atau film. Hampir 10 persen responden mengaku memiliki perihal yang terhubung dengan merek atau logo rokok tertentu.
“Faktanya perokok bukan hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga orang di sekelilingnya yang menjadi perokok pasif dan third-hand smoker, yaitu mereka yang bersentuhan dengan benda-benda yang terkena paparan asap rokok,” kata Laksmiati A Hanafiah, Ketua III Yayasan Jantung Indonesia dan Ketua Harian Komnas Pengendalian Tembakau, dalam konferensi pers sekaligus webinar PERKI, di Jakarta Barat, Selasa (5/6).
Laksmiati mengatakan, fenomena masih murahnya harga rokok di Indonesia juga turut mendorong tingginya konsumsi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan konsumsi rokok adalah dengan meningkatkan harga produk rokok.
“Pengendalian konsumsi tembakau harus dilakukan secara holistik dan terintegrasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pendidikan tentang bahaya tembakau dapat dimulai dari keluarga, sekolah dan komunitas-komunitas sehingga kita dapat menghindari munculnya generasi penerus konsumen zat adiktif ini,” ucap Laksmiati.