Liputan6.com, Jakarta Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Prijo Sidipratomo meminta pemerintah untuk menerapkan kebijakan penggabungan produksi rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang.

Kebijakan ini akan membuat harga beberapa brand rokok milik pabrikan besar asing akan menjadi lebih mahal karena mereka harus membayar tarif cukai golongan satu, sehingga sehingga tidak mudah dijangkau oleh masyarakat, terutama anak-anak.

Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Prijo Sidipratomo, menjelaskan harga rokok di masyarakat masih tergolong murah. Kondisi tersebut pun dimanfaatkan oleh para penerima bantuan sosial untuk membeli rokok.

Berdasarkan hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, 30 persen dana dari bansos digunakan untuk membeli rokok. Karena itu, Prijo meminta pemerintah tidak ragu untuk menggabungan batasan produksi SKM dan SPM.

“Kalau kita lihat kenyataan itu pasar dibanjiri dan dikuasai SKM, itu saja yang dinaikkan dulu. Tapi lebih baik digabungkan saja SPM dan SKM sehingga harga rokok naik,” kata dia kepada wartawan, Minggu (21/7/2019).

Menurut Prijo, pabrikan rokok selama ini berusaha menahan pemerintah agar tidak menaikkan cukai rokok. Di saat yang bersamaan, pabrikan terus memperbesar volume produksinya. Jika terus begini, Prijo menganggap pemerintah gagal mengontrol peredaran rokok karena akan mendorong terus bertumbuhnya perokok pemula.

“Kalau volume diperbesar tetapi harga terjangkau, jumlah perokok akan bertambah. Jadi lebih baik cukai rokok dinaikkan saja dengan penggabungan SKM dan SPM,” tegas dia.

Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Rofyanto Kurniawan, menjelaskan pemerintah mendapatkan tantangan dalam menjalankan kebijakan batasan produksi. Produsen rokok SKM dan SPM menolak kebijakan tersebut.

Dia meneruskan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM akan memudahkan pengawasan. Semakin banyak golongan, semakin besar pula potensi terjadinya penyalahgunaan. Dengan kebijakan tersebut, para produsen yang memiliki volume produksi segmen SKM dan SPM di atas tiga miliar batang harus membayar tarif cukai golongan I pada kedua segmen tersebut.

“SKM golongan II dan SPM golongan II kita akan gabungkan. Kalau masuk kategori golongan I, bayar cukai golongan I, dan ini masih ada pertentangan dari produsen,” tegas dia. Namun Rofyanto tidak menjelaskan siapa saja pabrikan yang menolak terhadap penggabungan batasan produksi SKM dan SPM.

Penggabungan batasan produksi SKM dan SPM sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 146/2017. Namun pada Desember 2018 lalu, Kemenkeu mengeluarkan PMK 156/2018 yang salah satu isinya menghapus Bab IV pada PMK 146/2017, yang mengatur tentang penggabungan batas produksi SKM dan SPM.