REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Senior Peneliti Senior Center for Health Economics and Health Policy, Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, menyarankan agar pemerintah mengalokasikan 5-10 persen pendapatan cukai rokok untuk program pendampingan petani tembakau beralih profesi.
Menurutnya, kebijakan itu bisa selaras dengan keinginan pemerintah untuk menurunkan konsumsi rokok seperti yang dilakukan negara-negara di dunia.
“Saya memohon, 10 persen atau 5 persen dari dana cukai rokok didedikasikan untuk itu,” kata Hasbullah dalam Webinar Center for Indonesia Policy Studies, Selasa (8/9).
Ia mencontohkan, jika rata-rata pendapatan negara dari cukai rokok per tahun sekitar Rp 140 triliun, maka setidaknya Rp 14 triliun bisa dialokasikan untuk program pendampingan petani. Dana tersebut, kata dia, bisa dialokasikan untuk Kementerian Pertanian sebagai lembaga negara yang langsung membina petani.
Dana itu, kata dia, juga bisa digunakan untuk bantuan manajemen petani dalam membudidayakan komoditas yang berpeluang di ekspor. “Di China, petani tembakau dialihkan menjadi petani bawang putih yang saat ini produknya diekspor ke kita,” kata Hasbullah.
Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Mogadishu Djati Ertanto, mengatakan, rantai nilai industri rokok sudah sangat mengakar karena telah ada sebelum Indonesia merdeka. Jumlah industri rokok juga sudah mencapai sekitar 700 perusahaan dari skala mikro hingga besar.
Lantaran efek berganda dari industri rokok sudah amat besar, tapi ingin menurunkan konsumsi rokok, ia mengatakan posisi pemerintah adalah menjaga rantai nilai ekosistem.
Namun, ia mengatakan, Kemenperin juga setuju untuk memitigasi dampak negatif dari konsumsi rokok. Hal itu setidaknya telah ditempuh lewat kebijakan cukai rokok yang ditetapkan Kementerian Keuangan.
Berkaitan dengan alih profesi petani, ia megatakan, pemerintah tentu ingin meningkatkan kesejahteraan petani, sekalipun harus beralih profesi ke komoditas lainnya. Hanya saja, hal itu butuh perhitungan yang akurat karena berkaitan dengan nilai ekonomi.
“Petani tentunya akan mengkomparasikan mana yang lebih menguntungkan untuk ditanam di tempat yang sama. Tentu kita harus paham dan ini tidak mudah. Petani juga tidak ada paksaan untuk menanam komoditas tertentu,” kata dia.