Di rumahnya yang mungil, di gang sempit wilayah Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Mikrad Masduki (70) asyik menonton televisi di ruang tamu. Ruang
3×3 meter itu lebih mirip kamar di RS. Ada sebuah kasur, meja penuh obat-obatan dan alat bantu pernapasan manual, serta tabung oksigen yang dibeli
seharga Rp 550 ribu. Sesekali Mikrad batuk, badannya bungkuk, jalannya tertatih.
Sudah lebih dari setahun ia divonis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Namun, Mikrad bersyukur sudah hampir sebulan ini ia berada di rumah. Biasanya, ba-pak empat anak itu harus bolak-balik dirawat di Rumah Sakit Sumber Waras karena se-sak nafasnya tidak tertahankan. “Ini paling lama di rumah, biasanya baru seminggu keluar
masuk rumah sakit, sudah diopname lagi,” kata Mikrad yang berat badannya menyusut
puluhan kilo, kini tinggal 45 kg.
Jika dihitung, mungkin Mikrad sudah sepuluh kali dirawat di RS selama setahun ini. Menu-rutnya, sesak napas yang sering ia rasakan ibarat makan
rutin setiap hari. Asap rokok kini jadi musuh besar Mikrad,
padahal dulu asap adalah “sahabatnya” sehari-hari,
yang merokok sejak duduk di bangku SMP.
“Dokter vonis saya tidak bisa sembuh karena sudah ter-lalu tua,” kata Mikrad, dengan gurat penyesalan.
Dulu sebelum sakit, Mikrad sangat aktif. Mikrad ber-gabung di kelompok nyanyi keroncong “Irama Sehati,
Jembatan Besi” yang kerap “ngamen” di mana-mana.
Biasanya baru seminggu keluar masuk rumah sakit, sudah di opname lagi
Tetapi sesak nafas sudah membuat-nya mendekam di rumah. Mau tidak mau, karena menurutnya, jika ia keluar rumah bebe-rapa langkah saja dan mencium bau asap rokok, sesak nafasnya langsung kumat. Ia juga
menjadi jarang kumpul dengan tetangga karena menghindari asap rokok. “Sekarang tidak
bisa ke mana-mana,” keluh Mikrad.
Istri Mikrad mengaku, momen saat sesak nafas Mikrad kumat merupakan momen yang
menyiksa bagi dia dan anak-anaknya.
“Kalau lihat dia sesak nafasnya kumat, saya tidak
tega. Kalau sedang kumat dia tidak bisa tidur, duduk juga salah,” katanya.
Mikrad yang kini bungkuk, menurut istrinya juga diakibatkan karena sesak nafas, “Ba-dannya jadi bungkuk, karena sering terlalu menarik napas kalau nafasnya tak sampai.”
Kini hidup Mikrad bergantung pada alat bantu pernafasan. Setiap pagi dan sore, salah
satu anaknya membeli sekantong oksigen seharga Rp 15 ribu, tak jauh dari rumah.