Konsumsi rokok masih dianggap berkaitan erat dengan kemiskinan. Hal itu terjadi lantaran dominasi pengeluaran masyarakat untuk membeli rokok masih lebih besar ketimbang untuk keperluan lainnya yang jauh lebih penting. “Sebagian besar konsumen rokok ini kan berasal dari masyarakat miskin.
Buktinya bahwa pengeluaran masyarakat miskin untuk rokok itu adalah yang kedua setelah beras dan kalau dilihat dari angkanya berada di angka 11 persen,” jelas Chief of Communications and Partnership Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Ruddy Gobel di Jakarta, Selasa (17/7/2018).
Bahkan, lanjut Ruddy, masyarakat tersebut kerap kali mengorbankan pembelian bahan makanan untuk sekadar membeli sebungkus rokok. “Mereka mensubtitusi kebutuhan-kebutuhan lain, seperti untuk membeli telor, membeli daging ayam, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dikorbankan agar mereka dapat mengonsumsi rokok,” imbuhnya. Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka Ruddy meyakini masyarakat miskin tersebut tetap akan berada dalam siklus kemiskinan dari generasi ke generasi.
Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk bisa dengan segera menaikkan harga jual rokok setinggi mungkin. “Itu merupakan salah satu langkah konkrit untuk mengurangi konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin sehingga pengeluarannya dapat dialihkan untuk konsumsi makanan bergizi, biaya pendidikan, dan kesehatan yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada upaya pengentasan kemiskinan,” sambung Ruddy.
Adapun harga jual ideal rokok yang diprediksi dapat membuat perokok berhenti merokok ada di kisaran Rp 60.000 hingga Rp 70.000 per bungkus. Nominal tersebut diperoleh dari hasil survei yang dilakukan oleh Komnas Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKIS-UI) kepada 1.000 responden terdiri dari perokok, mantan perokok, dan bukan perokok.
“Sebanyak 66 persen dari 404 responden perokok akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 60.000 per bungkus dan sebanyak 74 persen dari 404 responden perokok mengatakan akan berhenti merokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 70.000 per bungkus,” pungkas Anggota Tim Peneliti PKIS-UI Renny Nurhasanah.