Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Lawan Industri Rokok (Gebrak) melakukan aksi simpatik kesehatan dan pengendalian tembakau saat Car Free Day di kawasan Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta, 24 April 2016. Mereka mengajak masyarakat untuk menolak diadakannya pameran mesin rokok atau Internasional World Tobacco Process and Machinery. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

TEMPO.CO, Jakarta – Komnas Pengendalian Tembakau mendesak Pemerintah segera menyelesaikan proses-proses amandemen dan mengesahkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Proses revisi ini sudah berlangsung sejak 2018, namun hingga sekarang belum ada tanda-tanda bakal rampung.
“Kenapa kami mendesak revisi PP 109, karena secara filosofis, belum ada substansi yang ikut mengacu pada pengendalian tembakau dunia. Kalau pakai bahasa WHO itu belum eviden,” kata Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau, Tubagus Haryo Karbyanto, dalam acara Media Visit dengan Tempo secara daring, Selasa, 15 September 2020.
Tubagus mengatakan, pada 27 Januari 2020, Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 18 tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 yang salah satu targetnya adalah menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen pada tahun 2018 menjadi 8,7 persen. Caranya, dengan kebijakan peningkatan cukai hasil tembakau, perluasan layanan berhenti rokok, pelarangan total iklan dan promosi rokok, serta memperbesar pencantuman peringatan bergambar bahaya merokok.
Namun, hingga saat ini, proses revisi tidak jelas dan terindikasi Menteri Kesehatan tidak serius dalam melakukan upaya-upaya pencapaian target penurunan perokok anak yang terus meningkat.
Proyeksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, prevalensi perokok anak usia 10 hingga 18 tahun akan meningkat menjadi 16 persen pada tahun 2030 apabila tidak ada upaya yang kuat dari seluruh sektor.
“Di seluruh dunia, industri produk tembakau akan selalu mengganggu proses-proses legislasi regulasi pengendalian tembakau, yang membedakannya adalah bagaimana sikap pemerintah setiap negara,” kata Tubagus.
Hal yang sama juga disampaikan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi. Ia mendorong pemerintah segera melakaukan amandemen PP 109 sebagai bentuk regulasi yang berpotensi dalam pengendalian tembakau. “Kalau Jokowi konsisten sama Nawa Cita, maka mau tidak mau harus menjadikan itu, salah satunya mengedepankan pengendalian tembakau,” katanya.
Karena itu, kehadiran Peraturan Presiden yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan, agar seluruh sektor terkait bahu membahu melakukan berbagai upaya untuk mencapai target RPJMN 2020-2024, yaitu menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen. Mengingat, RPJMN 2014-2019 telah gagal menurunkan prevalensi perokok anak, bukannya turun menjadi 5,4 persen pada tahun 2019 tapi malah naik jadi 9,1 persen pada tahun 2018.