Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LDUI) Abdillah Ahsan menilai kenaikan cukai tembakau yang direncanakan rata-rata 10.04 persen masih kurang tinggi bila dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi rokok.
“Kenaikan cukai rata-rata 10,04 persen itu berarti hanya Rp8 per batang untuk rokok termurah dan Rp55 per batang untuk rokok termahal. Uang saku anak TK saja masih bisa untuk membeli rokok,” kata Abdillah dalam jumpa pers yang diadakan Komite Nasional Pengendalian Tembakau di Jakarta, Senin, 23 Oktober 2017, seperti dilansir Kantor Berita Antara.
Meskipun menilai rencana kenaikan itu masih kurang tinggi, Abdillah tetap mengapresiasi pemerintah. Sebab, rencana kenaikan 10,04 persen itu diputuskan langsung oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah rapat terbatas.
Kenaikan tarif cukai tersebut juga perlu diapresiasi karena pemerintah Indonesia secara konsisten terus menaikkan setiap tahun, meskipun kenaikan pada 2018 menurun 1,15 poin bila dibandingkan 2017, yaitu dari 11,19 persen menjadi 10,04 persen.
Menurut Abdillah, baru kali ini tarif cukai sebuah barang kenai cukai diputuskan langsung oleh Presiden. Biasanya, kenaikan tarif cukai hanya diputuskan di tingkat menteri atau kepala badan saja.
“Hal ini bisa dilihat dari dua sisi. Sisi pertama menunjukkan niat baik Presiden dan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok, di sisi lain bisa untuk mempertanyakan komitmen pejabat setingkat menteri terhadap pengendalian tembakau,” tuturnya.
Pemerintah akan menaikkan cukai tembakau rata-rata 10,04 persen yang berlaku pada 1 Januari 2018. Keputusan menaikkan cukai tembakau itu ditetapkan dalam rapat internal yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Kamis, 19 Oktober 2017.
Menurut laporan Bank Dunia yang berjudul “Reformasi Pajak Tembakau: Persimpangan Jalan antara Kesehatan dan Pembangunan”, Menteri Keuangan sebuah negara bisa menyelamatkan lebih banyak jiwa dari pada Menteri Kesehatan dengan menaikkan cukai rokok.
Komnas Pengendalian Tembakau menilai hal itu juga sangat mungkin terjadi di Indonesia melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bila pemerintah memang berkomitmen melindungi rakyat dari epidemi penyakit akibat konsumsi rokok.***