Komisi Nasional Pengendalian Tembakau meminta Kementerian Perindustrian membatalkan keputusan yang membuka investasi asing untuk industri tembakau.
Langkah membuka investasi asing dalam industri tembakau ini dianggap bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang ingin mengurangi jumlah perokok anak dan remaja.
Berdasarkan penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bappenas, prevalansi perokok muda akan naik 10,7% tahun depan tanpa adanya kontrol yang ketat.
Anggota Komnas Pengendalian Tembakau, Jalal, mengatakan dengan membuka modal asing untuk industri tembakau sama halnya dengan meningkatkan konsumsi rokok.
“Sekarang kalau Daftar Negatif Investasi (DNI) dari rokok dibuka, pasti ada penigkatan produksi dan konsumsi, tapi kerugiannya juga besar,” ujar Jalal kepada BBC News Indonesia.
Dalam catatannya, uang yang didapat dari cukai rokok sebesar Rp149 triliun sesungguhnya tak bisa menutup kerugian yang ditimbulkan dari tembakau karena membiayai penyakit akibat rokok yang mencapai Rp600 triliun.
“Jadi apakah masuk akal kalau kerugian yang ditimbulkan justru empat kali lipat? Kemudian sekarang mengundang investasi tembakau?” katanya kesal.
Jalal menambahkan jika investasi untuk sektor tembakau dibiarkan, target nasional pemerintah tidak akan terpenuhi.
Indonesia adalah satu-satunya negara anggota ASEAN yang belum menandatangani Konvensi Kerangka Kerja tentang Pengendalian Tembakau dari badan kesehatan dunia, WHO.
Dalam konvensi ini, tiap negara disyaratkan untuk membuat regulasi yang ketat tentang produksi tembakau, iklan, pajak, yang bertujuan mengurangi konsumsi tembakau.
Investasi untuk industri rokok demi membuka peluang tenaga kerja
Dalam revisi Daftar Negatif Investasi (DNI), Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto mengusulkan industri rokok dan serbuk karet dikeluarkan dari DNI.
Pelonggaran regulasi diperlukan agar industri rokok menengah bisa lebih cepat berkembang dalam bentuk penanaman modal baru.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Abdul Rochim, mengatakan dibukanya keran investasi sektor tembakau ini akan menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan industri kecil dan menengah.
Data Kemenperin menyebut, jumlah usaha kecil dan menengah industri tembakau menyusut dari 1000an pada 2014 menjadi tinggal 400an tahun 2017.
“Pengendalian boleh, tapi ada beberapa investor yang menyatakan mau berinvestasi. Tapi tidak bisa. Makanya sekarang dibuka, namun prioritas pada ekspor,” jelas Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Abdul Rochim.
Sejauh ini, kata dia, sudah ada beberapa pemodal dari Cina yang mau menanamkan uangnya, tapi Abdul Rochim enggan menyebutkan besaran angkanya.
Para investor besar ini akan diprioritaskan untuk menggandeng industri besar. Sehingga produksi tembakau yang dihasilkan untuk tujuan ekspor.
Sementara untuk industri kecil dan menengah, difokuskan untuk mengisi kebutuhan tembakau dalam negeri. Ini karena, produksinya turun setiap tahun.”Untuk IKM (Industri Kecil-Menengah), biar mengisi pabrik-pabrik yang mati, kan jumlahnya banyak. Apalagi yang selama ini karyawannya tak terserap,” jelasnya.
Ia juga berharap, masuknya investasi asing ini paling tidak tidak membuat industri kecil dan menengah tidak makin menciut jumlahnya. Sementara terkait syarat berinvestasi itu, akan diatur dalam Peraturan Menteri yang ditargetkan rampung akhir tahun ini
Namun Abdul Rochim tak merinci target investasi yang diharapkan dengan dibukanya DNI industri tembakau.
“Belum bisa saya sampaikan,” katanya singkat.
AMTI dukung investasi untuk industri kecil dan menengah
Menanggapi keputusan ini, Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mendukung penuh keputusan Kemenperin, asalkan sejumlah regulasi yang selama ini dinilai “menjegal” rokok diperbaiki.
Ketua Departemen Media Center AMTI, Hananto Wibisono, mengatakan keinginan meningkatkan industri kecil dan menengah ini tidak akan berhasil jika masih ada regulasi yang menekan produk rokok.
Sejumlah peraturan daerah yang “menjegal” produk rokok di pasaran itu di antaranya Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR), di mana sejumlah tempat tak dibolehkan memajang produk-produk tembakau.
“Seperti di Bogor, Kulonprogo, Depok, tidak boleh pajang produk rokok. Ini barangnya kan legal, tapi diperlakukan tidak legal,” ujar Hananto kepada BBC News Indonesia.
“Perda Kawasan Tanpa Ruang (KTR) juga arahnya selalu soal kesehatan, tidak menyaring semua aspirasi. Mestinya kan komprehensif,” sambungnya.
Dari catatannya, jumlah industri kecil dan menengah yang memproduksi tembakau menurun drastis.
Menurut Hananto, saat ini tersisa tersisa 900an industri kecil dari sebelumnya yang berjumlah belasan ribu.
Hananto mengatakan karena kondisi ini, ia meminta pemerintah agar memprioritaskan masuknya modal asing itu untuk industri-industri seperti ini.
“Kalau kelas kecil dan menengah itu kan seperti sigaret kretek tangan ya karena melibatkan banyak tenaga kerja. Jadi saya setuju,” imbuhnya.