KOMPAS.com – Tahukah Anda, ancaman konsumsi tembakau di Indonesia telah mencapai tingkat darurat? Laksmiati A Hanafiah, Ketua III Yayasan Jantung Indonesia dan Ketua Harian komnas Pengendalian Tembakau, berkata bahwa konsumsi tembakau Indonesia nomor tiga tebesar setelah China dan India, dan prevalensinya terus meningkat.
“Pengeluaran rumah tangga untuk rokok (bahkan) nomor dua setelah beras, mengalahkan pendidikan,” ujarnya dalam Konferensi Pers dan Webinar 2018 yang diadakan di Jakarta , Rabu (5/6/2018). Data WHO pada 2015 juga menunjukkan kenyataan yang tidak kalah suram.
Sepertiga anak laki-laki usia 13-15 tahun di Indonesia mengonsumsi tembakau. Lalu, sebanyak 40 juta anak bawah lima tahun di seluruh Indonesia yang menjadi perokok pasif.
Padahal seperti yang disampaikan oleh dr Ade Median Ambari, SpJP, FIHA dalam kesempatan yang sama, konsumsi rokok menyebabkan 5,4 juta kematian dini per tahunnya. Sebesar 35-40 persen kematian di seluruh dunia juga disebabkan oleh penyakit kardiovaskular yang berhubungan dengan rokok.
Untuk itu, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) dan Yayasan Jantung Indonesia menginginkan adanya pengendalan konsumsi tembakau yang dilakukan secara holistik dan terintegrasi.
Berdasarkan studi yang dilakukan di Afrika Selatan dan Perancis 1990-2005, Dr dr Ismoyo Suni, SpJP (K), FIHA, FasCC selaku Ketua Umum Pengurus Pusat PERKI menyatakan dukungan PERKI terhadap terwujudnya cukai rokok hingga 66 persen. “Karena sudah dibuktikan pada studi tersebut bahwa peningkatan cukai rokok tiga kali akan mengurangi separuh dari jumlah perokok aktif,” katanya.
Laksmiati pun sependapat. Dia berkata bahwa untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia , rokok harus mahal sehingga tidak terjangkau oleh anak-anak dan keluarga miskin yang merupakan 70 persen dari populasi perokok di Indonesia.
RUU Pertembakauan juga disarankan oleh Laksmiati untuk dihentikan karena dianggap menguntungkan industri rokok yang seharusnya mengakui bahwa produk mereka berbahaya.
Selain itu, Laksmiati meminta agar iklan rokok dihentikan. “Bagaimana bisa produk yang begitu berbahaya masih diiklankan seolah-olah dia produk yang normal saja? Meskipun ada batasan seperti jam itu tidak cukup. Iklan rokok harus dihentikan sama sekali,” katanya.
Untuk kesehatan masyarakat, Ismoyo juga meminta agar klinik-klinik stop merokok di tingkat pelayanan primer bisa dibiayai oleh BPJS.
Hal ini harus juga dibarengi dengan perubahan budaya di rumah dan sekolah agar anak mengetahui risikonya dan merasa malu untuk merokok. “Budaya stop merokok harus dimulai dari rumah masing-masing, dikawal para guru SD sampai SMA.
Kemudian, Kemendikbud juga harus mengedepankan syarat pengujian, yakni hanya untuk mereka yang tidak merokok,” imbuh Ismoyo.