Di usianya yang menginjak 74 tahun, Edison Poltak Siahaan masih menyimpan sebuah penyesalan. Suaranya parau seperti robot. Terdapat lubang di lehernya yang menjadi bukti nyata bahwa ia telah kehilangan pita suara, selamanya.
Edison menderita kanker pita suara (laring) dan harus menjalani pengangkatan pita suara pada 2001. Rokok, menjadi penyebab utamanya. “Menyesal. Andai saya bisa kembali, saya betul-betul tidak mau merokok,” ujar Edison. Ya, Edison adalah perokok berat.Edison mengetahui bahaya rokok yang membuatnya kecan-duan sejak 35 tahun lalu, namun ia tak terlalu peduli. Ia tidak pernah membeli rokok per bungkus, melainkan langsung per pak. Bisa dibilang, sejak bangun tidur sampai tidur, ia tak lepas dari rokok.
Sampai pada Agustus tahun 1995, Edison mendapati suaranya serak dan tak kunjung sembuh. Dokter THT (Telinga Hidung Teng-gorok) mengatakan terdapat bintik-bintik hitam di pita suaranya.
Sejak penyakitnya terdeteksi pada 1995 hingga 2001, Edison tak pernah berhenti rawat jalan tetapi juga tak berhenti merokok. Sampai akhirnya suara Edison pun semakin kecil, dan ternyata
kanker semakin menggerogoti pita suaranya.
Saking candunya terhadap rokok, “Saya masih ngumpet-ngumpet merokok saat menjelang operasi,” kata Edison. Lalu pada Juni 2001 ia koma, tidak bisa bicara, tidak bisa bernafas, berat badannya turun 15 kg. Operasi pengangkatan pita suara harus segera dilakukan karena kankernya sudah pada stadium 3 plus. “Dokter bilang setelah operasi, saya tidak bisa lagi bicara. Kaget saya,” ujarnya. “Saat itu, saya benar-benar stres. Membayangkan nanti tidak bisa bicara, tertawa, teriak, bernyanyi.
Saya masih ngumpet-ngumpet merokok saat menjelang operasi
Saya betul-betul stres,” tambahnya. “Namun saya kembali berpikir bahwa hidup dari Tuhan itu karunia terbesar. Lebih baik saya pertahankan hidup daripada mati. Saya pasrah,” ujar Edison mengenang kekalutannya saat itu. Sejak kehilangan pita suaranya, otomatis Edison melepaskan pekerjaannya di sebuah perusa-haan swasta properti dan terpaksa melupakan hobinya, bernyanyi.
Edison mengenang, jika ia tidak merokok, mungkin ayah lima anak itu tidak harus menjual mobil, tanah, dan mengambil deposito tabungannya untuk operasi. Apalagi, saat itu masih ada satu anaknya yang belum lulus kuliah.
“Jika tidak merokok, mungkin saya masih bisa bernyanyi, aktif ke sana-kemari, tidak kehilangan mata pencaharian,” kenangnya.
Penyesalannya membuatnya selalu berpesan pada generasi muda, “Kalau merokok dan berusaha mengurangi, itu non sense. Harus berhenti total,” ujarnya