Di tengah keriuhan berita mengenai susunan Kabinet Indonesia Maju yang diputuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
PMK tertanggal 21 Oktober 2019 itu menyebutkan kenaikan tarif cukai rata-rata 21,55% dengan batas minimal harga jual eceran (HJE) sebesar 33% berlaku sejak 1 Januari 2020. Namun, kenaikan cukai ini dinilai masih menyisakan celah karena harga jual rokok akan tetap murah sehingga masih mudah terbeli oleh kelompok rentan.
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Prijo Sidipratomo, mengatakan, tujuan utama cukai adalah untuk mengendalikan konsumsi. Pertanyaannya, dengan kenaikan sebesar ini apakah dapat mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia.
Menurut Prijo, rata-rata kenaikan tarif cukai tersebut disertai kenaikan harga jual minimum yang bervariasi. Khusus untuk sigaret kretek mesin (SKM) golongan I yang menguasai 63% pangsa pasar Indonesia, tercatat kenaikan tarif cukai sebesar 25% yang disertai kenaikan harga jual minimum sebesar 65%.
“Artinya, jika harga sebungkus rokok SKM I dahulu berada di kisaran Rp 17.000, maka tahun depan diperkirakan harga jualnya di pasaran dapat melonjak hingga Rp 27.000 per bungkus,” kata Prijo dalam keterangan tertulis kepada SP, Rabu (24/10).
Menurut Prijo, ini merupakan sebuah kemajuan bagi Indonesia. Namun angka tersebut masih jauh di bawah angka yang akan membuat perokok di Indonesia berhenti merokok, yaitu sebesar Rp 60.000 hingga Rp 70.000 berdasarkan survei Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) tahun 2018.
Menurut dia, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan agenda utama yang terus didengungkan oleh pemerintah, khususnya Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan. Setelah menggenjot pembangunan infrastruktur dalam periode pertamanya, Jokowi kini mengalihkan fokusnya untuk pembangunan SDM. Ambisi Jokowi dalam menggenjot pembangunan SDM, menurut Prijo, nampaknya sudah mulai menunjukan indikasi nyata dengan keputusan menaikkan cukai rokok serta harga jual minimumnya melalui PMK 152/2019.
Prijo juga menyebut, Sri Mulyani yang kembali diangkat sebagai Menteri Keuangan patut diapresiasi karena sedikit banyak telah mendengarkan masukan masyarakat mengenai pentingnya menaikkan cukai setinggi-tingginya yang akan berperan menurunkan prevalensi perokok di Indonesia. Keluarnya PMK152/2019 dinilai sebagai langkah tepat dan berani yang memang seharusnya dilakukan pemerintah untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk rokok.
Ada Celah
Sayangnya, menurut Prijo, masih ada celah dalam PMK ini. Jumlah tarif yang tidak berubah, yaitu masih 10 tingkatan, akan mengurangi efektivitas kenaikan cukai. Sebab, perokok SKM I masih bisa berpindah ke SKM IIA atau IIB, dan seterusnya.
“Akibatnya, target menurunkan prevalensi perokok terhambat karena adanya pilihan harga rokok yang lebih murah. Penyederhanaan tarif sangat penting dalam penerapan cukai rokok,” kata Prijo.
Ia berharap, pemerintah semakin tajam dalam memutuskan kenaikan cukai dengan memikirkan tujuan utamanya untuk menurunkan jumlah perokok. Mengutip berbagai sumber, Prijo mengatakan, cukai adalah salah satu intervensi yang paling efektif untuk mengurangi perokok. Kenaikan 10% dari harga akan menurunkan prevalensi merokok sekitar 4% di negara berpenghasilan tinggi dan sekitar 8% di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Kenaikan cukai juga dapat mempengaruhi distribusi pendapatan penduduk secara positif. Kenaikan cukai yang diiringi kenaikan harga akan mendorong penurunan konsumsi barang tak produktif pada keluarga miskin yang saat ini belanja terbesar keduanya adalah rokok.
Karena itu, jika Presiden Jokowi menginginkan peningkatan pendapatan orang Indonesia sampai Rp 27 juta per bulan pada 2045 seperti yang disampaikan dalam pidato pelantikannya beberapa waktu lalu, maka salah satu hal yang harus difokuskan adalah pengendalian konsumsi rokok dengan menaikkan cukai setinggi-tingginya secara efektif dan tepat sasaran. Selain itu, ia juga minta pemerintah menerapkan kawasan tanpa rokok serta pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Secara terpisah, Manajer Program Pengendalian Tembakau PKJS-UI, Renny Nurhasana, berharap Kabinet Indonesia Maju berkomitmen menciptakan SDM yang unggul tanpa rokok. Renny mengatakan, saat ini harga rokok di Indonesia memang masih tergolong murah, sehingga remaja dan masyarakat miskin masih mampu menjangkau rokok dengan mudah. Dengan naiknya cukai diharapkan rokok juga menjadi lebih mahal dan tidak mudah dijangkau.
Menurut Renny, kenaikan harga rokok pada dasarnya mendapatkan dukungan dari masyarakat. Menurut penelitian PKJS-UI terhadap 1000 orang responden, 88% masyarakat mendukung harga rokok naik, bahkan 80,45% perokok setuju jika harga rokok naik.
“Namun kenaikan harga rokok juga harus signifikan, sehingga benar-benar mampu menekan konsumsi rokok,” kata Renny.
Di sisi lain, sistem golongan pada cukai rokok mengakibatkan masyarakat miskin dan anak di bawah umur masih memiliki pilihan merek rokok dengan harga lebih murah. Apabila harga merek rokok yang biasa mereka konsumsi naik. Oleh karena itu simplifikasi cukai rokok juga perlu diberlakukan agar variasi harga rokok berkurang sehingga konsumsi rokok dapat ditekan.