Jakarta, 14 Desember 2021 – Pengumuman press statement Kementerian Keuangan tentang kenaikan tarif cukai rokok 2022 rata-rata sebesar 12% baru saja diumumkan 13 Desember 2021. Kenaikan ini jelas lebih rendah dibandingkan dengan dua tahun ke belakang yang mencapai 12,5% (2021) dan 23,5% (2020). Meski demikian, upaya Kementerian Keuangan RI untuk memulai menyederhanakan golongan tarif cukai dari 10 menjadi 8 golongan patut diapresiasi. Penyederhanaan atau simplifikasi golongan tarif cukai ini dapat memungkinkan pengurangan variasi rokok murah di pasaran dan dapat menekan prevalensi perokok itu sendiri.
Rokok berdampak pada terhambatnya pembangunan manusia sekaligus membebani biaya ekonomi dan kesehatan yang harus ditanggung oleh negara. Anak dari keluarga dengan perokok aktif 5,5% lebih rentan stunting dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok (PKJS UI, 2018). Di lain sisi, kecenderungan naiknya konsumsi rokok di masa pandemi (Komnas PT, 2020) menambah beban ekonomi dan kesehatan, dan secara makro, negara harus menanggung beban biaya kesehatan sebesar Rp 17,9 – 27,7 T selama setahun akibat penyakit karena rokok (CISDI, 2021). Hal ini menunjukan bahwa penting bagi negara untuk mengendalikan konsumsi rokok agar mencegah dampak eksternalitas yang semakin parah. Kebijakan fiskal, salah satunya dengan cukai masih terbukti ampuh untuk dapat menurunkan prevalensi perokok di berbagai negara di dunia. Kenaikan cukai menjadi penting dilakukan sebagai bentuk kontrol atas produk berbahaya seperti rokok.
Pegiat pengendalian tembakau berharap ke depan Kementerian Keuangan akan terus menyederhanakan sistem cukai, sehingga tidak memberi peluang kepada industri untuk berpindah-pindah ke golongan bertarif rendah. Selain itu, adanya kenaikan batas minimum Harga Jual Eceran (HJE) juga dapat memungkinkan memahalkan harga rokok di pasaran. Pengenaan cukai terhadap Hasil Produk Tembakau Lainnya (HPTL) juga perlu mendapatkan perhatian karena konsumsi dan penggunaannya di kaum muda juga sangat meningkat.
Negara harus konsisten, tidak lagi melihat cukai rokok sebagai sumber pendapatan negara melainkan suatu kebijakan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Di mana hasil cukainya dapat digunakan kembali oleh masyarakat, terutama untuk mengatasi masalah yang diakibatkannya, termasuk pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) oleh daerah diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau.
Prof. Hasbullah Thabrany selaku Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau menyampaikan, “Saya mengapresiasi langkah pemerintah atas kenaikan cukai dan penyederhanaan golongan tarif cukai 2022, karena pemerintah sudah seharusnya tidak lagi takut dengan mitos-mitos kerugian ekonomi ala industri tembakau yang menghambat dinaikkannya cukai rokok. Standar keterukuran pengendalian tembakausudah jelas: derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya meningkat bukan sakit-sakitan karena rokok. Jadi rokok mahal itu sudah seharusnya dilakukan, tak perlu mencari-cari justifikasi untuk menunda kenaikan cukai rokok setiap tahunnya! Jangan lupa kita sedang berinvestasi untuk masa depan!”.
Argumentasi Prof Hasbullah dikuatkan oleh hasil studi dari CISDI, Yurdhina Meilissa selaku Chief Strategist CISDI menyampaikan studi CISDI terkait dampak makro ekonomi kenaikan cukai rokok, “Berdasarkan hasil analisis input-output, kenaikan cukai rokok tidak serta merta berdampak buruk bagi perekonomian, seperti yang selama ini kerap dikhawatirkan. Bahkan kenaikan tarif cukai hingga 45% pun diperkirakan akan tetap menghasilkan dampak positif pada perekonomian dengan nilai output positif dan penciptaan lapangan pekerjaan. Maka, kenaikan rata-rata 12% yang akan berlaku tahun depan, diperkirakan tidak akan berdampak signifikan pada kondisi ekonomi.” (Selengkapnya tentang hasil studi tersebut dapat dibaca di tautan https://bit.ly/reportmacroecontax)
Aryana Satrya, Ketua PKJS UI, menyampaikan paparan hasil penelitiannya. “Naiknya cukai rokok serta penyederhanaan sistem cukai yang diikuti naiknya HJE bisa memotivasi perokok untuk berhenti merokok sehingga keuangan rumah tangga untuk pemenuhan gizi keluarga tidak lagi dikorupsi oleh pengeluaran untuk rokok. Keluarga lebih sehat dan angka stunting bisa terus ditekan.”
Beliau menambahkan bahwa dampak konsumsi rokok bersifat multi dimensi. Selain pada kesehatan, rokok juga berdampak buruk pada ekonomi keluarga, termasuk stunting hingga kemiskinan. Hasil studi PKJS-UI tahun 2020 menunjukkan selain faktor teman sebaya, seorang anak terdorong untuk merokok karena harganya yang murah. “Kami melihat kenaikan cukai rokok mendukung pencapaian target RPJMN Pemerintah Republik Indonesia tahun 2024 untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7%, serta menurunkan prevalensi stunting pada usia balita menjadi 19%.”
Konferensi pers ini ditutup dengan pernyataan Tulus Abadi, Ketua Harian YLKI yang menyatakan bahwa kenaikan cukai rokok sebesar 12% adalah keniscayaan regulasi, yang patut diapresiasi, apalagi disertai dengan simplikasi (penyederhanaan) sistem cukai rokok. Tulus menambahkan, secara paralel, agar pengendalian rokok dengan instrumen cukai itu benar-benar efektif untuk pengendalian konsumsi, maka
harus disertai dengan upaya pengendalian dari sisi pemasaran rokok. “Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah agar melarang penjualan rokok secara ketengan, atau per batang (single stick sales), sebab penjualan rokok secara ketengan menjadi cara yang paling mudah bagi anak-anak dan remaja untuk membeli rokok.”
———————- Narahubung: Manik M (WA: 081283711123) atau sekretariat@komnaspt.or.id ————————-