JAKARTA – Kenaikan cukai rokok di Indonesia, semestinya juga dikenakan pada produk rokok elektrik alias vape. Sebab, hal itu termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Menurut PMK itu, tarif cukai hasil tembakau ditetapkan dengan menggunakan jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan batang atau gram hasil tembakau.
Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menyebutkan peraturan yang berkaitan dengan tembakau, tidak hanya rokok, berlaku juga untuk rokok elektrik.
Karena, dalam rokok elektrik juga terdapat konten tembakau. “Ada zat yang bersifat adiktif. Jadi, harus diberlakukan sama dengan industri rokok lainnya,” katanya.
Meski begitu, Hasbullah menilai bahwa semestinya penerimaan negara terhadap cukai rokok yang tinggi tidak perlu dibanggakan. Sebab, penerimaan cukai rokok sama saja dengan denda yang didapat dari masyarakat yang tidak disiplin dalam menjaga kesehatannya dengan rokok. “Cukai rokok didapat bukan dari industri, tetapi dari orang-orang yang tidak disiplin kepada kesehatan,” tutur Hasbullah.
Sekarang ini, Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dengan warga terbanyak perokok aktifnya.
Bahkan, jumlah perokok anak di Indonesia pun meningkat, dari Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi perokok usia 10–18 tahun sebanyak 7,20 persen dan di 2018, meningkat menjadi 9,10 persen. “Makanya, supaya menurun angka perokok dan denda itu, cukai perlu dinaikan tinggi-tinggi,” tambahnya.
Menurut Hasbullah, penerimaan dari cukai rokok di tengah pandemi Covid-19 ini bisa dikembalikan kepada perokok yang memang kehilangan pekerjaan, tetapi dengan syarat mereka tidak kembali merokok. Dibuat padat karya.
“Kalau sekarang ini kan yang untuk ya industri rokok saja,” ucapnya. Hasbullah menegaskan pemerintah perlu konsisten untuk merevisi PP 109/2012. Sehingga, kesehatan dan produktivitas masyarakat menjadi lebih terjamin.