AKURAT.CO * Sekarang ini industri rokok konvensional sudah hampir kehabisan akal karena perokok dewasa sudah jenuh dengan perilaku tidak sehat. Itulah sebabnya, produsen mencari market baru.
Beredar kabar pada 10 Juli 2019 nanti, produsen rokok terbesar di dunia akan meluncurkan e-cigarette di Indonesia.
Vape mengandung berbagai zat, seperti nikotin, bahan karsinogen yang menyebabkan kanker (seperti propylene glycol, gliserol, formaldehid, nitrosamin dan lain-lain), kemudian bahan toksik lain (seperti logam/heavy metals, silikat, nanopartikel dan particulate matter) yang merangsang iritasi dan peradangan serta menimbulkan kerusakan sel.

Selasa 14 Mei 2019, berlangsung diskusi tentang vape di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia , Menteng, Jakarta Pusat. Diskusi yang diikuti belasan pakar kesehatan itu diselenggarakan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau.
Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau, Nafsiah Mboy, yang pertama berdiri di forum itu. Dia mengingatkan vape sudah menjadi ancaman epidemi baru yang tak hanya melanda dunia, tetapi juga Indonesia.
Nafsiah mengapresiasi para pakar kesehatan lintas organisasi profesi yang siang hari itu berkumpul di kantor IDI untuk memaparkan fakta tentang ancaman epidemi baru.
“Sebab, sebagaimana kita ketahui, sebenarnya saya tidak suka menyebut rokok elektrik ya. Sebenarnya itu kan bukan rokok ya. Ada yang menyebut ENDS, electronic nicotine delivery system. Jadi pokoke kasih nikotin di badan seseorang melalui alat yang bukan rokok,” kata mantan menteri kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu II.

Nafsiah mengingatkan selama bertahun-tahun industri rokok tembakau telah merusak kesehatan masyarakat, bahkan karena saking banyak orang menderita penyakit-penyakit katastropik, mengakibatkan BPJS Kesehatan defisit melulu. Persoalan itu belum kelar, sekarang muncul vape.
“Sekarang dipasarkan suatu alat yang lagi booming di seluruh dunia. Yang membawa nikotin ke dalam tubuh seseorang dan menjadi sangat populer di kalangan non perokok apalagi anak-anak dan remaja dan generasi muda,” kata Nafsiah.
Di tengah peredaran yang makin masif, produk vape dipromosikan sebagai alat untuk berhenti merokok. Selain itu, vape disebutkan rendah nikotin dan aman bagi kesehatan. Sebagian remaja Indonesia, baik yang perokok aktif maupun yang belum menjadi perokok, rupanya terbujuk rayuan itu.
Nafsiah berharap pemahaman yang menyebutkan vape lebih aman harus diluruskan agar masyarakat, khususnya generasi muda, mendapatkan informasi secara lebih komplit.

“Tetapi opo iyo. Katanya lessharm, kurang kerusakan, kurang jahatnya, tapi tidak pernah dikatakan harmless. Apakah jangka panjang dia pakai ini untuk pintu masuk menjadi perokok berat ataukah betul bisa untuk katanya harm reduction, mengurangi kerusakan atau kejahatan yang disebabkan oleh merokok,” kata Nafsiah.
Di tengah forum, Nafsiah menunjukkan kegalauannya, apalagi beredar kabar pada 10 Juli 2019 nanti, produsen rokok terbesar di dunia akan meluncurkan e-cigarette di Indonesia.
“Saya harap lain kali pers akan mengundang mereka dari kalangan ekonomi juga dari kalangan politik karena terus terang saya galau, galau, di usia saya yang sudah tua, saya tadi baru dengar tanggal 10 Juli 2019, produsen elektronik terbesar di dunia akan melaunching e-cigerette di Indonesia. Mana pemerintah? Bener gak tuh, dibiarin aja suka-suka, menggoda anak-anak dan generasi muda kita. Sehabis itu makin lama makin banyak,” kata dia.
Kegalauan Nafsiah bukan tanpa dasar. Dia orang yang telah lama terlibat dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS dan narkotika di negeri ini. Kasus HIV/AIDS pada awalnya juga dari sedikit demi sedikit, tetapi semakin lama semakin banyak. Nafsiah tidak ingin hal itu terulang pada kasus vape.
“Napza itu kan mulainya juga dari sedikit merokok dulu, abis itu hisap, ngelem dulu, abis itu makin lama makin berat,” katanya.
Nafsiah mengungkapkan sekarang ini industri rokok konvensional sudah hampir kehabisan akal karena perokok dewasa sudah jenuh dengan perilaku tidak sehat. Itulah sebabnya, produsen mencari market baru.
Vape, apakah solusi atau ancaman. “Apakah tidak lebih baik kita end,” kata Nafsiah.
Ketua Pokja Masalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dokter Feni Fitriani Taufik dalam pengantar diskusi menyatakan setuju dengan pendapat Nafsiah bahwa masyarakat ditipu dengan istilah untuk menyebut vape. Padahal, menurut definisi, vape merupakan alat yang mengubah bahan kimia, salah satunya nikotin menjadi bentuk uap untuk disampaikan ke paru, saluran nafas, melalui tenaga listrik.
Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization pun tidak mengatakan ini vape sebagai rokok, tetapi ini hanya sebagai electronic nicotine delivery system.
“Di dalam rokok elektronik salah satunya banyak mengandung nikotin. Nah, sekarang juga ada produk yang katanya bebas dari nikotin. Jadi kalau kita yang tidak setuju, ini tetap nikotin, tetapi mereka sebut produk tanpa nikotin,” katanya.
Bahkan, untuk menarik minat milenial, dikembangkan liquid dengan aneka ragam zat perasa. Menurut Feni dari segi perasa makanan mungkin hal itu aman, tetapi begitu diuapkan dan dimasukkan ke saluran nafas melalui vape, efeknya berbahaya.
Feni mengungkapkan kandungan vape yang bagi penggunanya barangkali belum menyadari. Vape mengandung berbagai zat, seperti nikotin, bahan karsinogen yang menyebabkan kanker (seperti propylene glycol, gliserol, formaldehid, nitrosamin dan lain-lain), kemudian bahan toksik lain (seperti logam/heavy metals, silikat, nanopartikel dan particulate matter) yang merangsang iritasi dan peradangan serta menimbulkan kerusakan sel.
Feni mengatakan zat-zat yang kandungan dalam vape seringkali tidak diungkapkan sehingga penggunanya tidak tahu.
Feni menekankan rokok elektrik atau juga sering disebut sebagai e-cigarette berpotensi memicu iritasi, peradangan saluran nafas, dan kerusakan sel. Selain itu, karena vape tetap mengandung nikotin, juga mengakibatkan adiksi dan soal ini sudah dibuktikan dalam penelitian di Rumah Sakit Persahabatan.
“Dalam penelitian kami di RS Persahabatan, kami menggunakan kuisioner khusus pengguna rokok elektrik ini, ternyata ini juga menyebabkan adiksi. Jadi kesimpulan pada penelitian kami, kalau ada yang menyatakan rokok elektronik bisa menjadi alat untuk berhenti merokok, itu patut dipertanyakan,” kata dia.
Bagaimana dengan regulasinya, Feni mengambil contoh dari Badan Pengawas Obat dan Makanan pada November 2017, badan ini sudah mengajukan usulan agar rokok elektronik diberi persyaratan untuk mendapatkan izin edar. Tetapi kurang lebih 10 hari setelah surat itu dimasukkan, ternyata ada perubahan lagi berdasarkan Peraturan Kementerian Perdagangan tahun 2017 sehingga saat ini tidak ada regulasi yang mengatur rokok elektrik.
Feni kemudian mengutip hasil penelitian di Amerika Serikat yang menyebutkan remaja-remaja yang memulai merokok dengan vape, kelak mereka akan menjadi perokok konvensional.
Feni menunjukkan data peningkatan jumlah konsumen vape remaja dari tahun ke tahun. Di Korea, pengguna vape remaja pada 2014 tercatat 9,4 persen, di Inggris 18 persen, di Amerika Serikat juga di atas 10 persen.
Di Indonesia, tahun 2011, angka pengguna vape yang tercatat 0,3 persen. Berdasarkan hasil penelitian Univesitas Prof. Dr. Hamka, jumlah tersebut ternyata meningkat empat kali lipat pada 2018: menjadi 11 persen.
“Nah, isu yang berkembang memang yang dikhawatirkan adalah untuk generasi muda, satu sisi pada asosiasi penggunanya menyatakan: ‘kan pemerintah tidak punya solusi untuk membantu masyarakat berhenti. Jadi, boleh dong kalau ini jadi solusi.’ Tapi di satu sisi lain kita lihat generasi mudanya yang ini bisa jadi perokok konvensional juga bisa masuk narkoba, dan segala macamnya, nah itu yang kita sampaikan tentang bahaya rokok elektrik,” kata dia.
Feni menegaskan vape bukan solusi untuk berhenti merokok.
Dokter Aryo Suryo Kuncoro yang hadir dalam diskusi sepakat dengan apa yang disampaikan Feni.
Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia menegaskan rokok elektrik berpotensi menimbulkan gangguan pada sistem jantung dan pembulu darah.
“Rokok elektronik ini seperti sudah disampaikan dokter Feni tadi mengeluarkan partikular atau zat-zat yang berbahaya, di antaranya nikotin. Dimana kita tahu dengan rokok tradisional saja, kita tahu efek nikotin terhadap sistem pembulu darah jelas menimbulkan gangguan, pada akhirnya. Sekaligus juga rokok elektronik mengeluarkan komponen organik yang mudah menguap atau volatile, di antaranya juga karbonil dan materi partikulat 2,5 atau materi partikulat beruukuran kurang dari 2,5 mikron, sangat kecil,” kata Aryo.
Bukan hanya penggunanya, dampak rokok elektrik juga berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan pada orang-orang di sekitarnya. Mereka yang terkena impact yaitu second hand dan third hand smoker, meskipun mereka bukan pemakai.
Menurut beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan vape dalam jangka pendek, antara lain menimbulkan detak jantung meningkat tajam, peningkatan tekanan darah, kemudian adanya zat inflamasi yang menimbulkan kerusakan pada fungsi pembulu darah.
“Dimana di sini salah satunya bisa mencetuskan terjadinya serangan jantung atau pembekuan dari pembulu darah di dalam, terutama yang kita khawatirkan adalah pembulu darah jantung sehingga bisa menimbulkan serangan jantung,” kata ketua bagian medis Yayasan Jantung Indonesia.
Mekanisme lain yang dapat mengganggu fungsi jantung adalah melalui efek partikulat yaitu partikel yang kecil yang dikeluarkan oleh rokok elektrik yaitu melalui jalur yang langsung maupun jalur tidak langsung. Jalur langsung yaitu karena partikelnya kecil sehingga masuk ke dalam aliran pembulu darah dan impactnya langsung ke kepada pembulu darah, termasuk di antaranya jantung sehingga menimbulkan gangguan fungsi, di antaranya gangguan irama, bahkan bisa timbulkan gangguan pompa jantung.
“Secara tidak langsung, teman sejawat dari paru akan menjelaskan lebih lanjut, yaitu terjadi penumpukan di jaringan paru yang akan memicu proses peradangan yang sistemik sehingga meningkatkan resiko trombosit atau pembekuan darah yang akut yang apabila terjadi pada sistem di jantung juga menimbulkan serangan jantung yang akut,” katanya.
Rokok elektronik seringkali disebut sebagai less harm, tetapi bukan not harm. Artinya, kata Aryo, meskipun dikatakan lessharm bukan berarti tidak mempunyai efek yang buruk, bukan berarti pula dia tidak harmfull.
“Jadi contohnya adalah pada mereka yang sedang menderita penyakit jantung atau resiko penyakit jantung terkena imbas dari perokok ini sehingga memicu terjadinya proses peradangan sehingga menimbulkan terjadinya serangan jantung akut dan hal itu bisa terjadi,” katanya.
Aryo menegaskan rokok elektronik tetap mengeluarkan zat berbahaya, terutama zat residu toksik. Rokok elektronik, kata dia, tetap mengandung nikotin. Nikotin yang masuk ke badan seseorang dalam jumlah yang kadang-kadang bahkan lebih besar daripada rokok tradisional dan tentu saja hal itu dapat menimbulkan efek adiksi.
Bagaimana dengan persepektif Yayasan Kanker Indonesia? Dokter Vinka Imelda menegaskan bahaya rokok sebenarnya bukan terletak pada tembakau saja. Rokok elektronik memiliki peluang yang sama dalam memicu kanker.
Dia sependapat dengan pakar-pakar sebelumnya yang menyatakan penggunaan rokok elektronik sama bahayanya dengan menghisap rokok konvensional.
“Jadi, tidak lebih aman dari rokok tembakau. Itu yang perlu menjadi catatan,” kata dia.
Kenapa bisa seperti itu? Menurut dia selain mengandung nikotin yang mengakibatkan adiksi atau ketagihan, uap rokok elektronik juga mengandung bahan karsinogen lain yang tidak ada pada rokok tembakau (rokok putih atau kretek).
“Misalnya apa, bahan karsinogen yang menyebabkan kanker, seperti glisterol, dan lain-lain. Mungkin kalau awam bingung ya, ini zat apa nggak jelas,” katanya.
Dia memberi contoh kandungan formaldehyde. Rokok elektrik berisi formaldehyde yang cukup tinggi. Formaldehyde merupakan senyawa yang terdapat pada formalin. Formalin mengandung 35 persen – 40 persen formaldehyde. Jika dihirup bisa mengakibatkan kanker paru. Selanjutnya, gliserin, bila dikonsumsi sampai 20 minggu bisa menimbulkan sedikit peningkatan pembentukan tumor paru.
Apalagi di dalam cairan rokok elektronik juga ditambahkan zat-zat perasa makanan. Zat-zat perasa ini ketika diuapkan dapat merusak sel-sel organ tubuh, utamanya paru-paru.
“Jadi pada akhirnya rokok elektronik ini juga menjadi beracun.”
Vinka mengutip studi yang dilakukan periset Amerika Serikat Profesor Tarran dan tim. Hasil penelitian mereka membuktikan cairan kimia rokok elektronik bisa memicu kerusakan pada DNA sel sehingga sel-sel tumbuh abnormal dan berkembang menjadi kanker.
“Ini dilakukan penelitian oleh Profesor Tarran dari Amerika Serikat. Percobaannya dengan tikus. Tikus-tikus itu diberi rokok elektrik, ternyata mengalami mutasi karena terkena zat kimia yang bertindak sebagai derivate nikotin, nitrosamine ketone,” katanya.
“Beliau bersama timnya mengambil 148 sampel dari cairan rokok elektronik itu. Dari sekitar 7.700 cairan rokok elektronik yang beredar di pasaran. Hasil studinya cairan itu menjadi racun ketika bereaksi dengan plat plastik dari pipa rokok elektronik itu.”
“Nah dari dari penelitian beliau dan timnya didapat kesimpulan bahwa bahan cair rokok elektrik itu sebenarnya sangat beragam, dan beberapa dari mereka itu lebih beracun daripada nikotinnya saja. Dan ternyata juga lebih beracun daripada hanya bahan dasar standar dalam rokok elektronik.”
Vinka mengatakan hasil penelitian Profesor Tarran diperkuat lagi oleh hasil penelitian Irina Petrache dari National Jewish Health. Dia menyimpulkan komponen yang ditemukan pada larutan rokok elektronik yang tersedia di pasaran dan uap yang dihasilkan dengan pemanasan itu dapat mengakibatkan peradangan paru-paru.
“Jadi kita bisa dapat kesimpulan bahwa rokok elektronik itu berpotensi bukan hanya menimbulkan adiksi saja, tetapi juga meningkatkan resiko kanker, selain itu bisa sebabkan resiko kesehatan lainnya. Dan ingat bukan hanya menyebabkan pada pengguna, tetapi juga pada orang-orang di sekitarnya yang terpapar uapnya, yang kita sering sebut dengan perokok pasif,” kata Vinka.
Di Indonesia, kata dia, tingkat resiko kanker dan uap rokok elektronik belum dapat dibuktikan hubungan sebab akibatnya. Sebab, kanker pada perokok aktif membutuhkan waktu lama untuk mendeteksinya, biasanya lebih dari 10 tahun. Sedangkan penggunaan rokok elektronik secara luas belum mencapai 10 tahun.
Namun, kata dia, persepsi tentang penggunaan rokok elektronik sebagai salah satu upaya untuk berhenti merokok adalah persepsi yang keliru. Sebab, berdasarkan berbagai hasil penelitian di luar negeri, dapat disimpulkan, rokok elektronik berpotensi menimbulkan adiksi, meningkatkan resiko kanker, dan resiko kesehatan lainnya pada pengguna dan perokok pasif.
Dokter Anna Rozaliyani dari Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia juga galau dengan kehadiran vape karena masalah ini menambah-nambahi kasus tuberkulosis di negeri ini. Dalam diskusi publik yang berlangsung siang hari itu, dia menyampaikan beberapa fakta dan imbauan agar semua kalangan bersatu menghadapi isu ini.
Dia menegaskan rokok merupakan pabrik kimia yang sangat lengkap. Zat yang terhirup dari rokok, kata dia, akan mempengaruhi kekuatan atau daya tahan tubuh.
Dalam kasus tuberkulosis di Indonesia, dia menggambarkan kondisinya sekarang. Tahun 2019, Indonesia berada pada ranking ketiga sebagai negara terbanyak kasus TBC. Tahun 2018 ranking dua. Di satu sisi memang hal itu menunjukkan kemajuan, meskipun dulu sebetulnya sudah di ranking lima, terus naik ranking empat, naik lagi menjadi rangking dua.
“Mudah-mudahan tidak naik jadi rangking satu. Nah inilah yang jadi konsen kita. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, kemudian dengan ranking yang sangat tinggi, apa yang dapat kita proteksi, dapat kita cegah, supaya infeksi TB ini tidak menjadi makin berat, tidak menjadi makin banyak,” kata Anna.
Secara garis besar, dia mengatakan pajanan yang lama dari asap rokok dengan berbagai radikal bebas akan mengganggu sistem imun, terutama sistem pertahanan makrofag, dalam hal ini sel di paru dan membuat paru menjadi lebih rentan, lebih mudah terkena infeksi.
Terkadang Anna tidak habis pikir dengan perilaku pasien TB yang tetap tidak mau berhenti merokok. Di satu sisi, dokter ingin membantu supaya infeksi paru mereka teratasi, tetapi satu sisi yang lain mereka ngeyel.
“Dok, kalau kita tidak merokok, rasanya saya tidak bisa hidup dok, biarin deh tidak usah makan, yang penting saya jangan disuruh berhenti merokok,” kata Anna.
Anna menekankan kondisi gangguan saluran nafas akibat pajanan radikal bebas dari zat-zat kimia yang dikeluarkan asap rokok, termasuk uap rokok elektronik, di antaranya nikotin, kemudian meningkatkan ekspresi sel-sel yang kemudian agak berubah sifatnya.
“Termasuk juga ekspresi gen di dalam saluran nafas khususnya nanti ada yang namanya ICAM 4 yang kemudian membuat sel epitel paru itu menjadi lebih mudah untuk ditempeli atau dilekati oleh kuman TB. Jadi ketika ada kerusakan sel, kemudian ada perubahan sistem genetik di dalam sel yang terkena imbas radikal bebas itu kemudian kuman TB menjadi mudah melekat, nah dengan kondisi itu artinya resiko terkena infeksi paru menjadi lebih tinggi sehingga dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa perokok itu memiliki resiko dua kali lipat untuk terinfeksi dan mati karena infeksi TB dibandingkan dengan bukan perokok.”
Anna mengatakan ada dua masalah serius yang membutuhkan dukungan bersama. Pertama, mengatasi infeksi TB. Kedua, membantu pasien meninggalkan rokok. Belum lagi bicara bagaimana harus menurunkan angka kekeraban atau prevalensi TB di Indonesia.
“Kita juga artinya harus menurunkan ranking. Semakin turun ranking kita untuk jumlah kasus TB di dunia, mudah-mudahan ini juga jadi sebuah sinyalemen bahwa kita konsen, kita peduli untuk melindungi generasi muda,” kata Anna.
Anna mengingatkan sasaran produsen vape bukan lagi perokok dewasa, melainkan kaum muda. Anna sangat sependapat dengan gagasan mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboy agar diskusi tentang isu vape yang akan datang melibatkan para ekonom, penentu kebijakan, juga pakar-pakar lain.
“Mudah-mudahan Indonesia menjadi negara yang berani untuk mengatakan bahwa kami ingin melindungi generasi kami, dan kami tidak mau bargaining lagi, meskipun ada iklan-iklan rokok yang sangat banyak dengan baju yang sudah lebih dipercantik, kalau sekarang iklannya itu kan tidak lagi terlalu seram, kalimatnya Cuma: merokok membunuhmu. Mungkin orang juga tidak konsen, tapi kalau kita lihat, memang ini infeksi TB yang kita harus sama-sama berantas, karena merokok akan mengakibatkan resiko 2 x lipat terkena infeksi TB,” kata dia.
Penelitian yang menyebutkan rokok elektronik lebih aman terhadap kesehatan gigi dan mulut dibandingkan rokok konvensional harus dipertanyakan, demikian dikatakan Sekretaris Komisi Obat Material dan Alat Kedokteran Gigi Persatuan Dokter Gigi Indonesia dokter Didi Nugroho Santosa.
“Pada kenyataannya tentu saja punya efek yang sama terhadap sel-sel pada mukosa di rongga mulut. Karena bagaimanapun merupakan bagian dari tubuh kita secara keseluruhan sehingga dengan demikian, sekalipun ada penelitian tadi telah dikatakan dokter Veni bahwa ada yang dibilang lebih aman, tapi pada kenyataannya dari hasil penelitian yang saya baca tidak mengatakan itu aman,” kata Didi.
Didi mengatakan vape terbukti menimbulkan efek buruk bagi kesehatan, khususnya pada rongga mulut.
“Sehingga tentu saja kalau masih mau berdebat (harmless atau harmfull), betullah bahwa kita perlu penelitian lebih lama lagi untuk menetapkan kita tidak bisa dalam saat ini mengatakan itu sesungguhnya aman, tidak. Karena pada kenyataannya justru sebaliknya. Dari penelitian untuk exposure yang tidak terlalu lama saja sudah menimbulkan efek negatif.”
Dia meminta membayangkan zat yang keluar dari rokok itu dihirup, maka yang pertama-tama terpapar oleh adalah mukosa yang ada di rongga mulut. Asap rokok akan bersemayam di situ selama beberapa saat, baru kemudian masuk ke dalam tubuh si pengguna.
“Tadi teman-teman sejawat dari dokter jantung, dari kanker, paru, sudah mengatakan bahwa pada akhirnya rokok elektrik berakibat buruk pada sel-sel di dalam tubuh kita,” kata dia.
Dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia menyatakan, pertama, uap rokok elektronik meningkatkan apoptosis, nekrosis sel epitel pada gusi (gingiva). Dan efek negatif ini akan mengakibatkan disregulasi fungsi dari sel gingiva.
“Kerusakan awal pada sel-sel juga bisa memicu kanker. Kalau di organ tubuh lain sudah banyak diketahui, pada rongga mulut tentu saja juga bisa memicu kanker di rongga mulut,” katanya.
Kedua, kandungan rokok elektronik menimbulkan efek toksik dan apoptosis pada fibroblast gingiva manusia setelah terpapar selama 48 jam.
Ketiga, cairan yang menjadi kandungan rokok elektrik, baik yang mengandung nikotin maupun tidak, dan mengakibatkan perubahan molekular dan morfologis yang diduga menjadi penyebab penyakit periodontal.
“Kita sudah tahu tadi bahwa ternyata isi rokok elektronik tadi bisa macem-macam. Bukan cuma nikotin saja, tapi banyak zat-zat lain, bahkan bisa saja zat-zat adiktif lain yang dimasukkan ke dalam. Dan itu tentu saja akan timbulkan dampak yang negatif. Yang nantinya bukan cuma melemahkan gigi saja, tetapi juga bisa sebabkan kerusakan-kerusakan lainnya.”
Keempat, rokok elektronik meningkatkan prevalensi stomatitis nikotin, cheilitis angularis, dan hairy tongue.
“Sehingga dengan demikian, kita melihat bahwa masih banyak efeksamping di rongga mulut yang ditimbulkan pada penggunaan rokok elektronik.”
Kesimpulan dari dokter gigi, secara tegas mengatakan rokok elektronik tidak dapat dikatakan lebih aman dibandingkan rokok konvensional yang sudah diketahui jelas akibatnya.
“Oleh karenanya memang kami sepakat untuk tidak bisa mengendorse penggunaan rokok elektronik buat masyarakat luas.”