Pengendalian konsumsi rokok harus dilihat dari hulu hingga hilir karena menyangkut hal-hal mendasar dan terkait dengan penghidupan banyak orang. Di hulu, rokok menjadi ladang penghidupan para petani tembakau. Di tengah, berhubungan dengan kebijakan tarif cukai rokok. Sementara, di ujung atau hilir, konsumsi rokok menggerus anggaran rumah tangga.
’’Tergerusnya anggaran rumah tangga karena rokok ini bisa berakibat pada menurunnya asupan protein untuk anak sehingga menyebabkan stunting (kekerdilan),” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat menerima Komisi Nasional Pengendalian Tembakau di Bina Graha, Jakarta, dalam rilis yang diterima ”PR”, pekan lalu.
Dalam kesempatan itu, Jaringan Pengendalian Tembakau yang terdiri atas 23 organisasi masyarakat sipil, menyatakan keprihatinannya atas tingginya konsumsi rokok di Indonesia. Saat ini, Indonesia ada di peringkat ke-2 dunia sebagai negara dengan konsumsi rokok tertinggi.
Konsumsi rokok yang tinggi akan memengaruhi kualitas sumber daya manusia, pembiayaan BPJS, dan kemungkinan tidak tercapainya pembentukan .generasi emas tahun 2045. Menurut mereka, prevalensi merokok yang tinggi akan membuat penyediaan sumber daya manusia ter-kendala. Konsumsi rokok di rumah tangga perokok menyebabkan bayi yang baru lahir memiliki tinggi badan 0,34 cm lebih rendah dan berat badan 1,5 kg lebih rendah.
’’Rokok juga menjadi penyebab penyaldt katastropilc seperti jantung, kanker, ginjal. Penyakit katastropik ini membuat klaim pada BPJS Kesehatan menjadi sangat tinggi. Jika konsumsi rokok tidak dikendalikan, generasi emas yang diharapkan muncul, bisa jadi terhambat,” ujar Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Priyo Sidipratomo.
Beasiswa
Dalam kesempatan yang sama, Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat aturan yang melarang para siswa menerima beasiswa dari perusahaan rokok.’’Termasuk juga larangan menerima sponsor dari perusahaan rokok yang melakukan kegiatan di sekolah,” ucapnya.
Atas berbagai temuan itu, Komnas Pengendalian Tembakau merekomendasikan beberapa hal. Beberapa di antaranya, meminta pemerintah menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya melalui Peraturan Menteri Keuangan, mendorong revisi RUU inisiatif pemerintah dan menaikkan batas maksimal 57 persen kenaikan cukai, dan melibatkan warga sipil dalam penyusunan kebijakan cukai rokok sebagai bentuk transparansi.
Moeldoko menyatakan, berbagai aspirasi akan disalurkan untuk menjadi pertimbangan dalam penyusunan kebijakan. ’’Saya sarankan, jika nanti RUU itu dibahas di DPR, Komnas Pengendalian Tembakau datang ke DPR untuk menyuarakan aspirasinya sebagai kelompok penekan,” ujarnya.
Dia juga berharap agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari hubungan antara tingkat pendidikan dan konsumsi rokok. Itu perlu dilakukan karena sejauh ini kenaikan cukai rokok ternyata tidak berbanding lurus dengan pengurangan konsumsi rokok.’’Harus dicari solusi lainnya. Kenali persoalan lebih ke dalam, apakah sosialisasinya yang kurang atau soal pendidikan,” katanya.
Terkait dengan pelarangan iklan rokok, Moeldoko sepakat dengan usul itu. Soalnya, banyak iklan rokok dibuat dengan bagus yang menonjolkan kejantanan seseorang dan menggiring orang untuk merokok. Hanya, pelarangan untuk tak membeli rokok eceran sulit diwujudkan. Soalnya, dari sisi pengawasan dan tindakan hukumannya pun sulit dilakukan.
’’Sebaiknya, aturan tersebut juga bisa kita laksanakan. Apa artinya kita membuat aturan, tetapi tidak bisa kita laksanakan. Pada akhirnya, cara yang paling efektif untuk berhenti merokok adalah kesadaran yang muncul dari dalam,” ucapnya.