Rancangan Undang-undang Pertembakauan yang kerap disebut RUUP telah disetujui oleh DPR untuk menjadi RUU inisiatif dan akan dibahas bersama pemerintah.
Namun kontroversi mengiringi RUU tersebut, terutama terkait ketiadaan naskah akademis, prosesnya yang dianggap melompati prosedur, serta isinya yang lebih banyak berorientasi ekonomi ketimbang kesehatan.
Berikut beberapa hal kontroversial terkait RUU Pertembakauan, berdasarkan draft V RUUP, tertanggal 27 Juni 2016.
Lintas sektoral
RUUP diprotes antara lain karena sifatnya yang lintas sektoral dan -jika disahkan- akan membuat UU lain yang bersifat sektoral harus disesuaikan dengannya.
Ekonom Faisal Basri menyebut bahwa ada UU sektoral seperti UU Pertanian, UU Perindustrian, UU Penyiaran, UU Psikotropika dan lain-lain yang harus disesuaikan, seperti dinyatakan dalam pasal 70 RUUP yang menghendaki penyesuaian UU lain jika RUUP disahkan.
Ini dirasakan aneh mengingat RUUP merupakan UU untuk mengatur komoditas spesifik saja, yaitu tembakau.
Padahal, menurut Julius Ibrani dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA), komoditas ini hanya berpusat di tiga provinsi saja di Indonesia: Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Jika RUUP disahkan maka komoditas tembakau dan peredaran produknya seperti rokok sudah diatur dalam 14 UU lain yang terpaksa harus menyesuaikan diri, tulis Julius dalam petisi penolakan RUUP di laman Change.org.
Penasehat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau yang juga guru besar Universitas Indonesia, Emil Salim, pernah menulis opini di surat kabar nasional dengan pandangan bahwa pengaturan ini bisa mengganggu ‘hal-hal yang membatasi pengendalian konsumsi produk tembakau’.
Peningkatan produksi
Pengesahan RUUP ini berarti pengintegrasian pengendalian konsumsi produk tembakau yang sudah berjalan selama ini dengan kepentingan ekonomi.
Ini terjadi karena tujuan pengelolaan pertembakauan menempatkan peningkatan budidaya dan produksi tembakau di urutan pertama (Pasal 3), dan melindungi kesehatan masyarakat di urutan belakang.
Pengelolaan pertembakauan juga mengusulkan pengesahan rencana induk budidaya tembakau dan pembangunan industri hasil tembakau (IHT) di pasal 5.
Rencana induk ini ditengarai merupakan alih wujud dari Peta Jalan IHT yang pernah menjadi Peraturan Menteri Perindustrian No.63/2015, yang menargetkan peningkatan produksi rokok dengan pertumbuhan antara 5% hingga 7,4 persen per tahun.
Peraturan Menteri yang memuat Peta Jalan ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung setelah digugat uji materil oleh beberapa warga negara.
“Namun, napas isi Permenperin yang pro-rokok di atas kini masuk dalam RUU Pertembakauan, yaitu peningkatan produksi,” tulis Julius Ibrani dalam petisi di situs Change.org.
Perluasan konsumen
Ketentuan lain yang dianggap kontroversial adalah diperbolehkannya promosi oleh para pelaku usaha tembakau di berbagai media dengan pembatasan (pasal 48).
Hal ini menjadi kontroversial karena di berbagai negara, promosi rokok justru sedang mengalami pengurangan, bahkan penghilangan sama sekali guna menekan jumlah konsumen.
Tulus Abadi dari YLKI juga mengungkapkan peringatan bahaya merokok dilakukan dalam bentuk tertulis, padahal UU Kesehatan sudah memerintahkan peringatan ini dilakukan dalam bentuk gambar.
Fasilitas perokok
Pasal lain yang juga kontroversial adalah penyediaan ruang khusus (pasal 55) untuk perokok untuk kawasan tanpa asap rokok (seperti sekolah, rumah ibadah, rumah sakit dan sebagainya) yang dianggap menjadi alat untuk memfasilitasi para perkok.
Ketentuan-ketentuan ini dianggap ditujukan untuk memberi kesempatan perluasan konsumen rokok dan produk tembakau lain, yang justru sedang ditekan di banyak negara lain.
Bukan zat adiktif
Termasuk di dalam hal paling kontroversial di dalam RUU Pertembakauan ini adalah tidak adanya pernyataan bahwa produk tembakau seperti rokok merupakan zat adiktif.
UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa rokok adalah zat adiktif dan melalui Keputusan MK No. 34/PUU-VIII/2010, ketentuan ini dikukuhkan.
Sebagai zat adiktif, produksi, distribusi dan promosi rokok akan diawasi secara ketat dan mengedepankan aspek kesehatan.
Namun ketika rokok dan produk tembakau tidak dinyatakan zat adiktif dan penekanan justru pada aspek ekonominya -seperti pada RUUP- maka hal-hal tersebut akan dilonggarkan.
RUUP sudah disetujui oleh DPR untuk menjadi RUU inisiatif DPR guna dibahas bersama pemerintah dalam program legislasi nasional.
Tanggal 19 Januari lalu RUU ini didaftarkan ke Sekretariat Negara, dan kini masih menunggu jawaban dari pihak pemerintah, yang memiliki waktu hingga tanggal 19 Maret untuk menentukan ke mana kontroversi ini akan bergulir.