Hentikan Pembahasan RUU Pertembakauan, Batalkan Peraturan Menteri Perindustrian tentang Produksi Industri Hasil Tembakau, Aksesi FCTC
DPR kini sedang terus melakukan pembahasan RUU Pertembakauan yang tujuannya adalah untuk melindungi bahkan mengembangkan industri pertembakauan, terutama sekali rokok. Hal tersebut ditunjukkan dengan pengaturan produksi, distribusi, dan penunjangnya yang sangat memihak kepentingan industri. Sementara, sejalan dengan kepentingan tersebut, Menteri Perindustrian juga telah mengeluarkan Permenperin 63/2015 tentang Peta Jalan Produksi Industri Hasil T
embakau yang secara jelas hendak meningkatkan produksi rokok dengan tingkat kecepatan pertumbuhan 5-7,4% per tahun, membuat total produksinya menjadi 524,2 miliar batang pada tahun 2020. Target itu sendiri mengingkari Peta Jalan sebelumnya yang membatasi produksi rokok sebanya 260 miliar batang per tahun mulai 2015.
Baik RUU Pertembakauan maupun Permenperin itu sama sekali tidak menyinggung mengenai target penurunan prevalensi perokok (usia muda) sebesar 25%—yaitu dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 5,4% di tahun 2019—sebagaimana yang diamanatkan dalam RPJMN (Peraturan Presiden RI 2/2015). Keduanya juga sama sekali tidak menimbang tujuan kesehatan yang menjadi bagian integral dari Nawacita Kelima, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Artinya, baik RUU Pertembakauan maupun Permenperin tersebut bertentangan dengan cita-cita pembangunan yang lebih tinggi, yang telah ditetapkan oleh Presiden RI.
Konsumsi rokok—yang pasti meningkat kalau RUU Pertembakauan disahkan dan Permenperin tersebut diteruskan—memiliki konsekuensi yang sangat membahayakn bagi masa depan Indonesia. Bukan saja terkait dampak kesehatan, namun juga dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan secara luas.
Penyakit dan Kematian
Ilmu pengetahuan telah mencapai kesimpulan bahwa nikotin menyebabkan kecanduan, sehingga orang yang merokok sulit berhenti. Padahal di antara lebih dari 4.000 kandungan bahan kimia dalam rokok, 400 di antaranya berbahaya bagi kesehatan, termasuk 43 yang bersifat karsinogenik. Nikotin, yang menyebabkan kecanduan juga sekaligus bersifat toksik. Karena kandungan tersebut, penyakit dan kematian adalah konsekuensi dari konsumsi rokok, secara langsung maupun tidak langsung. WHO menyatakan bahwa kini kematian akibat rokok berjumlah sekitar 6 juta per tahun, di mana sekitar 600.000 di antaranya adalah perokok pasif.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat setidaknya 960.000 kasus sakit per tahun akibat rokok, dan Tobacco Atlas mencatat setidaknya 217.400 kematian per tahun. Kementerian Kesehatan juga telah menghitung biaya yang timbul karena beragam masalah kesehatan akibat rokok, yaitu Rp378,75 triliun rupiah di tahun 2013. Pada tahun yang sama, besaran cukai rokok hanyalah Rp103 triliun, yang artinya hanya 27,2% dari kerugian yang kesehatan yang ditimbulkan.
Kaitan antara rokok dengan sakit dan kematian sudah diketahui sejak 65 tahun yang lalu. Dimulai dengan penelitian di Inggris dan Amerika Serikat, pada tahun 1950 dunia mengetahui secara pasti bahwa rokok terkait dengan kanker paru-paru. Kesimpulan terkait penyakit lainnya kemudian diketahui, menambah kuatnya kesimpulan tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Pada tahun 2005 saja sudah terdapat lebih dari 70.000 publikasi ilmiah yang membuktikan kaitan antara rokok dengan kesehatan.
Gerbang Narkoba
Yang lebih baru adalah pengetahuan bahwa konsumsi rokok juga merupakan gerbang pemakaian narkoba—narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif—lainnya. Rokok sendiri merupakan bagian dari narkotika, sebagaimana yang dinyatakan oleh BNN, dan merupakan gerbang bagi konsumsi narkoba lain yang lebih kuat. Denise Kandel, profesor psikiatri pada Pusat Medis Universitas Columbia, menermukan pada tahun 1975 bahwa penggunaan narkoba sesungguhnya mengikuti pola yang sangat khas, yaitu dibuka dengan merokok, menggunakan ganja dan/atau alkohol, kemudian mengonsumsi obat-obatan terlarang yang lebih kuat.
Pada tahun 2007, The National Center on Addiction and Substance Abuse di Universitas Columbia menyimpulkan bahwa remaja perokok memiliki kemungkinan 5 kali lipat mengonsumsi minuman beralkohol dan 13 kali lipat menggunakan ganja dibandingkan remaja non-perokok. Selain itu, ketika telah dewasa, kemungkinannya menjadi lebih parah lagi. Orang dewasa yang mulai mencoba rokok di usia 12 tahun kemungkinannya 16 kali lipat menjadi pengguna ganja, 5 kali lipat menjadi pecandu minuman beralkohol, dan 7 kali lipat menjadi pengguna heroin dan kokain. Kalau Indonesia merasa bahwa sedang berada dalam darurat narkoba, sesungguhnya itu karena gerbangnya dibuka lebar-lebar. Bila hendak menangani narkoba secara komprehensif dari hulu, maka konsumsi rokok harus ditekan hingga minimal.
Petani dan Pekerja Industri Rokok
Setiap kali kepentingan kesehatan dinyatakan, para pembela industri rokok selalu memanfaatkan petani tembakau dan jumlah pekerja di industri ini. Biasanya dinyatakan bahwa ada 2 juta petani tembakau, dan industri rokok adalah industri yang padat karya. Pada kenyataannya, Kementerian Pertanian menghitung bahwa jumlah petani tembakau hanyalah 533 ribu orang di tahun 2015. Itupun mereka menanam tembakau hanya semusim. Kondisi petani tembakau tidaklah makmur sebagaimana yang kerap digambarkan, karena banyak di antaranya yang terikat sistem ijon, dengan harga jual yang ditetapkan oleh gudang, yang merupakan perpanjangan industri rokok. Lantaran pertanian tembakau sulit memberikan menguntungkan, maka pekerja anak banyak digunakan, seperti yang telah ditemukan oleh banyak penelitian. Akibatnya, green tobacco sickness, yang banyak diderita petani tembakau—sekitar 66% dari mereka—kini juga diderita anak-anak.
Kondisi kerja yang buruk banyak ditunjukkan di industri rokok. Upah buruh rokok adalah yang paling rendah di antara sektor lainnya, bahkan banyak di antara industri ini yang membayar di bawah UMR. Pelanggaran hak-hak pekerja juga telah banyak dilaporkan. Ancaman PHK kalau pengendalian tembakau dilakukan sesungguhnya hanyalah kebohongan, dan yang sesungguhnya terjadi adalah mekanisasi industri rokok untuk memenuhi pasar dengan sigaret kretek mesin, jenis rokok yang kini terbanyak dikonsumsi di Indonesia.
Dalam data Badan Pusat Statistik dinyatakan bahwa pekerja industri rokok turun dari 346 ribu di tahun 2008 menjadi 281 ribu di tahun 2012. Angka itu jauh di bawah klaim pendukung industri rokok yang menyatakan jumlah pekerja antara 600 ribu hingga 4 juta. Permenperin sendiri memberikan jalan bagi mekanisasi ini. Dalam rencana Kementerian, ketika produksi total rokok di tahun 2015 adalah 399 miliar batang, sigaret kretek tangan (SKT) berjumlah 77 miliar. Sementara pada tahun 2020, ketika total produksi adalah 524 miliar batang, SKT hanya naik menjadi 77,5 miliar. Itu artinya kenaikan sebanyak 125 miliar batang itu akan dilayani hampir sepenuhnya dengan mekanisasi. Investasi industri rokok tidak akan membawa dampak positif ketenagakerjaan.
Kemiskinan, Malnutrisi dan Ketimpangan Ekonomi
Badan Pusat Statistik secara regular memberikan gambaran bahwa kelompok penduduk termiskin di Indonesia mengonsumsi rokok dengan menghabiskan dengan proporsi nomor dua tertinggi setelah beras. Konsumsi rokok ini setara atau bahkan mengalahkan konsumsi total untuk daging, susu, telur, ikan, pendidikan dan kesehatan. Konsumen rokok yang sangat besar terdiri dari buruh, petani dan nelayan, dengan proporsi konsumsi yang kurang lebih sama. Ini sangatlah mengganggu program Pemerintah RI untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, karena rokok merupakan perangkap kemiskinan.
Konsumsi rokok yang sangat besar oleh kelompok miskin membuat mereka kehilangan kesempatan untuk membiayai konsumsi lain yang lebih bermanfaat, termasuk investasi dalam kesehatan dan pendidikan keluarga. Dampak lainnya adalah kehilangan produktivitas karena sakit dan kematian, serta meningkatnya pengeluaran akibat sakit. Kalaupun negara menanggung sebagiannya melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat, itu tidak membuat perangkap kemiskinannya hilang. Sementara negara juga menanggung beban dari dampak kesehatan industri rokok.
Pendidikan dan IQ
Dengan rendahnya investasi pendidikan di antara kaum miskin karena konsumsi rokok, maka anak-anak mereka menjadi korban. Walaupun negara menjamin pendidikan dasar gratis, namun pengeluaran pendidikan tidak hanya yang telah dijamin oleh negara. Sehingga, putus sekolah di antara siswa dari keluarga miskin yang orangtuanya merokok merupakan kasus yang jamak. Ini akan menyulitkan mereka meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya.
Salah satu dampak konsumsi rokok yang telah banyak diteliti adalah intelegensi. Penelitian Mark Weiser dkk di Israel menunjukkan bahwa perokok memiliki rerata IQ 7 poin di bawah yang bukan perokok. Ini berarti kalau ada setidaknya 60 juta perokok di Indonesia, maka industri rokok telah mengurangi kecerdasan kolektif bangsa ini sebanyak 420 juta poin IQ, yang tentu berpengaruh terhadap dayasaing bangsa. Penelitian di tahun 2010 itu menjadi klasik, dan memicu penelitian lanjutan. Di Indonesia bahkan telah diteliti bahwa orangtua yang merokok—sekitar 43% anak-anak Indonesia terpapar rokok di rumah—membuat IQ anak prasekolahnya lebih rendah 2,8 poin dibandingkan yang orangtuanya tidak merokok. Ini berarti perokok pasif anak-anakpun tercuri kecerdasannya oleh konsumsi rokok.
Deforestasi dan Pencemaran
Pertanian dan pengeringan tembakau di seluruh dunia bertanggung jawab atas 200.000 hektare deforestasi setiap tahunnya. Di Indonesia, tercatat puluhan ribu hektare hutan dan lahan rusak di Temanggung. WALHI mencatat hilangnya 1,4 hingga 1,6 juta pohon per tahun di NTB saja untuk budidaya dan pengeringan tembakau, mengakibatkan ancaman hilangnya seluruh hutan di provinsi tersebut dalam 10 tahun ke depan. Padahal, NTB bukanlah produsen terbesar. Jumlah produksi tembakau dari NTB, dalam perkiraan Kementerian Pertanian, hanyalah 24,2% dari total produksi tembakau di Indonesia, atau 39,771 ribu dari 164,108 ribu. Sementara, dari luasan lahan, NTB malahan lebih kecil lagi proporsinya, yaitu 29.271 dari 194.336 hektare, atau hanya 15% saja. Dapat dibayangkan kerusakan hutan akibat industri ini di seluruh Indonesia.
Sekurang-kurangnya 75% dari total rokok yang dikonsumsi di Indonesia—lebih dari 300 milyar batang per tahun—dibuang ke alam, bisa menyebabkan peracunan lebih dari satu dekade. Ini karena bahan pembuat filter tidaklah bersifat biodegradable. Di dalam filter rokok masih terdapat beragam racun termasuk nikotin, yang dalam sistem hukum Indonesia telah dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3). Namun, industri rokok hingga kini belum dimintai pertanggungjawaban untuk mengelolanya sebagaimana limbah B3 lainnya. Di sini, biaya lingkungan dari puntung rokok yang harus ditanggung negara sangatlah besar, dan belum dihitung dengan benar. Bandingkan dengan San Francisco yang penduduknya hanya 805 ribu orang dan prevalensi perokoknya hanya 11,7%, penelitian di sana menghasilkan kesimpulan bahwa biaya lingkungan akibat puntung rokok dapat mencapai USD6 juta per tahun.
Data dari Ocean Conservancy (2012) menyatakan bahwa puntung rokok merupakan sampah paling banyak yang ditemukan di pantai, 19% dari total sampah, hampir dua kali lipat pembungkus makanan dan botol plastik. Penelitian di perkotaan, oleh Scheneider, dkk (2011) menghasilkan angka yang lebih besar, yaitu antara 22 – 36%. Hal yang sama kemungkinan juga ditemukan di pantai-pantai dan di kota-kota di Indonesia. Puntung rokok diketahui telah meracuni ikan air tawar dan laut. Penelitian Slaughter, dkk. (2014) menyatakan racun yang terkandung di dalam 1 puntung yang diencerkan dengan 1 liter air cukup untuk membunuh ikan dan biota laut lainnya yang dapat dimasukkan ke dalamnya. Toksisitas ini juga sangat buruk bagi tanah dan biota lainnya.
Rokok atau Pembangunan Berkelanjutan?
Dampak rokok terhadap kesehatan telah banyak disampaikan, namun kerap dianggap remeh. Penelitian yang komprehensif atas dampak dari produksi dan konsumsi rokok akan membuka mata Indonesia bahwa bahayanya tidaklah ‘sekadar’ terkait dengan kesehatan, namun juga aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara keseluruhan.
Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) yang berlaku mulai 2016 -2030. Di sini telah dijelaskan bahwa berbagai dampak itu mengancam pencapaian tujuan tersebut. Sebuah analisis oleh von Eichborn dan Tanzmann (2015) menunjukkan bahwa setidaknya 11 dari 17 Tujuan yang terkait dengan 68 dari 169 Target SDGs akan sangat sulit atau bahkan mustahil dicapai bila rokok dibiarkan terus meningkat konsumsinya, alih-alih ditekan hingga minimal.
Bila Presiden Joko Widodo hendak konsisten dengan Nawa Cita, RPJMN dan komitmen pencapaian SDGs-nya, tak ada jalan lain di luar mengendalikan produksi dan konsumsi rokok dengan ketat. Oleh karena itu, RUU Pertembakauan haruslah dihentikan pembahasannya, dan Permenperin yang terkait harus dicabut. Di luar itu, karena SDGs telah mencanangkan pelaksanaan FCTC—dalam Mean of Implementation 3a—maka sudah seharusnya pula Presiden mengaksesi FCTC segera, agar perlindungan masa depan bangsa dari bahaya rokok bisa dilaksanakan dengan komprehensif.