Presiden Joko Widodo didesak tolak RUU Pertembakauan dari DPR
Presiden Joko Widodo didesak tolak RUU Pertembakauan dari DPR

Guru besar Universitas Indonesia dan anggota dewan penasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany, menilai RUU Pertembakauan berpihak pada kepentingan bisnis dan tidak memperhatikan dampak buruk konsumsi tembakau pada lapisan masyarakat, terutama generasi muda.

Hasbullah mengingatkan janji kampanye presiden, yang dikenal dengan Nawacita, yang seharusnya juga dijadikan pertimbangan dalam penolakan.

“Jokowi sudah berjanji meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia (seperti yang tercantum dalam) Nawacita kelima. Yang antara lain menargetkan seluruh daerah ada kawasan tanpa rokok, menaikkan cukai rokok hingga 200%. Janganlah Presiden khianat pada nawacitanya,” kata dia.

Pada 2015, rokok merupakan penyumbang terbesar pendapatan cukai dengan kontribusi sebesar Rp139,5 triliun.

Namun, kata Hasbullah, uang tersebut bukanlah sumbangan industri rokok, “Uang cukai adalah uang yang dibayar perokok yang sudah dijerat madat, yang sulit keluar dari cengkeraman madat,” kata Hasbullah.

Data yang dikeluarkan Komnas Pengendalian Tembakau menyebut, ‘sumbangan’ cukai rokok tersebut juga tidak setimpal dengan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pemerintah akibat penyakit yang terkait rokok, yaitu lebih dari Rp378 triliun.

Desakan kepada pemerintah untuk menolak RUU ini juga disampaikan oleh puluhan organisasi lainnya, antara lain Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, Persatuan Onkologi Indonesia, dan organisasi lainnya.

Tarik ulur kepentingan

Julius Ibrani dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA) menduga ada dualisme sikap yang ditunjukkan pemerintah.

“Sekretariat Negara seharusnya menunjuk hanya satu kementerian untuk leading, yaitu Kementerian Kesehatan. Tapi sekarang ada perubahan di mana Kementerian Perindustrian menyatakan memimpin pembahasan RUU pertembakauan,” katanya.

Ia menduga kekisruhan inilah yang menyebabkan belum adanya surat keputusan final Kementerian Kesehatan yang menolak RUU tersebut yang ditujukan untuk Sekretariat Negara.

Sampai saat ini, RUU Pertembakauan masih dalam kajian antarkementerian. Kementerian Kesehatan menyatakan telah menolak RUU ini.

Jika pun dilanjutkan pembahasannya Kementerian meminta hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan dikeluarkan dari RUU tersebut, seperti dikatakan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Lingkungan Kementerian Kesehatan Mohamad Subuh.

Sementara Kementerian Perindustrian yang juga ikut terlibat dalam pembahasan ini, belum dapat dimintai keterangannya. BBC telah menelepon Direktur Jenderal Industri Agro, Panggah Susanto, tapi hingga Senin (06/03) sore yang bersangkutan belum dapat dihubungi, karena masih rapat.

Julius menilai RUU ini mesti ditolak presiden karena cacat dalam proses dan substansinya. “Dari awal proses legislasi, pada 2012, RUU ini dibahas tanpa naskah akademis, tanpa draf pasal per pasal, dan tanpa pengusul. Ini janggal.”

“Selama pembahasan di DPR juga begitu begitu banyak (substansi yang) duplikasi dari UU yang ditolak,” kata Julius seraya menambahkan RUU Pertembakauan ini melanggar bergitu banyak UU, termasuk UUD 1945 khususnya pasal 28, UU Kesehatan, UU Perlindungan anak.

Ke mana pun RUU Pertembakauan akan bergulir di masa mendatang, kelihatannya akan menghadapi tantangan. “Jika diterima pemerintah dan jadi UU, kami akan gugat di Mahkaman Konstitusi,” kata Julius Ibrani.

Namun, jika RUU tersebut ditolak pemerintah dan DPR ngotot melanjutnya, maka UU tersebut akan menghadapi kendala di lapangan, “Kalau Presiden menolak, maka peraturan pelaksana tidak bisa dibentuk. Karena pemerintah sudah menolak,”

Kontroversi RUU Pertembakauan

RUU ini diandaikan menjadi upaya untuk mengatur industri dan komoditas tembakau termasuk juga petani dan pengendalian produk tembakau.

Tapi kalangan penentangnya menyebut RUU ini merupakan upaya industri rokok untuk meningkatkan produksi rokok dan memperlemah upaya pengendalian konsumsi rokok.

Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA), salah satu organisasi yang menentang RUU ini misalnya menyebut pasal 3 RUU yang bertujuan untuk meningkatkan produksi rokok.

Dalam pasal tersebut dinyatakan, “Pengelolaan Pertembakauan ditujukan untuk (a) meningkatkan produksi tembakau… (c) mengembangkan industri pertembakauan nasional…”

Komnas Pengendalian Tembakau juga mengkritik pasal 44 yang menyebutkan, “Pelaku Usaha dapat melakukan Iklan dan Promosi melalui media cetak, media elektronik, media luar ruang, media online dalam jumlah terbatas dan waktu tertentu,” Ini dinilai semakin memudahkan industri untuk mendapatkan konsumen baru.”

Juga pasal 50 yang dinilai memfasilitasi para perokok, “Pengelola tempat kerja dan tempat umum wajib menyediakan tempat khusus untuk mengkonsumsi Produk Tembakau,”

Secara umum, GKIA memandang tujuan utama RUU Pertembakauan merupakan upaya industri rokok untuk meningkatkan produksi rokok dan memperlemah upaya pengendalian konsumsi rokok.

Menuju Sunset Industry

Ekonom Faisal Basri menyebut industri rokok sebagai sunset industry, industri yang secara alamiah akan menurun kontribusinya, “Karena kesadaran masyarakat akan dampak kesehatan dan ongkosnya (dampak buruk) yang lebih banyak daripada manfaatnya,”

Di dunia industri ini kian merosot. Hanya 27 negara yang pertumbuhannya masih positif, “selebihnya negatif,” katanya lagi.

Karena itulah kata pemerintah kata dia harus mempersiapkan proses transisi untuk menyiapkan pekerja pabrik rokok beralih ke profesi lain atau petani tembakau beralih ke tanaman lain. “Bukannya membuat yang sunset menjadi sunrise,” katanya, “itu melawan kodrat,”.

Faisal juga menyoroti peran Kementerian Perindustrian yang seharusnya tidak lagi mengandalkan pendapatan dari industri rokok.

“Peranan (sektor) industri turun terus dalam ekonomi. Share-nya tak sampai 20% lagi. Sekarang dia dituntut untuk kembangkan industri dan industri rokok jadi ujung tombak. Menurut saya itu nestapa dan memalukan,” kata Faisal lagi.

Saat ini RUU Pertembakauan telah disahkan sebagai inisiatif DPR dan telah dimasukkan ke Sekretariat Negara pada 19 Januari yang lalu.

Pemerintah punya waktu hingga 19 Maret mendatang untuk menyatakan sikapnya.

Reff : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39151596