Cukai Rokok Tak Jadi Naik, Presiden Jokowi Tunduk Kepada Industri Tembakau?
Cukai Rokok Tak Jadi Naik, Presiden Jokowi Tunduk Kepada Industri Tembakau?

KOMISI Nasional Pengendalian Tembakau (KomnasPT) bersama sejumlah lembaga masyarakat sipil kecewa atas kebijakan Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang tak mengerek cukai rokok pada 2019. Kebijakan tersebut dinilai menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap industri rokok alih-alih masyarakat, terutama perempuan dan anak.

Pernyataaan KomnasPT itu disampaikan bersama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Lentara Anak Indonesia, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, dan Jaringan Perempuan Peduli pengendalian Tembakau (JP3T).

“Pemerintah, dalam hal ini Presiden, memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat perubahan di negara kita, untuk pengendalian produk tembakau tapi tampaknya pemerintah mengalah di tangan industri rokok dan mengorbankan anak-anak,”ujar Ketua Umum KomnasPT Priyo Sidipratomo dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (6/11/2018).

Menurut Priyo, Jokowi seharusnya konsisten mengerek cukai rokok. Ditahannya cukai rokok merupakan langkah mundur pemerintah dalam melindungi masyarakat. Pasalnya, industri rokok merupakan musuh dari bagi masyarakat miskin, perempuan, anak-anak, dan remaja serta pembangunan nasional.

Sejumlah riset telah membuktikan bahwa rokok berdampak negatif terhadap kemiskinan, kesehatan ,dan investasi manusia. Salah satunya hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang menunjukkan jumlah perokok anak di Indonesia naik signifian dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

Sementara berdasarkan riset Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), cukai tembakau yang tinggi dan harga rokok yang mahal merupakan cara terbaik yang umum digunakan berbagai negara untuk menekan prevalensi perokok. Kenaikan harga rokok sebesar 10 persen dapat menurunkan konsumsi tembakau hingga empat persen di negara maju dan lima persen di negara berkembang.

Karenanya, dalam pernyataan bersama tersebut, pemerintah dituntut untuk menaikkan cukai rokok hingga 57 persen dan konsisten dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT). Dalam beleid tersebut, pemerintah telah berkomitmen untuk melakukan simplifiasi kelompok cukai tembakau.

“Jika saja pemerintah konsisten dengan komitmennya, dan meneruskan kebijakan untuk menaikkan tarif cukai rokok dan menyederhanakan golongan, maka Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi prevalensi perokok, bahkan mengurangi beban ekonomi yang kini ditanggung akibat penyakit terkait rokok,” ujar Direktur Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives Anindita Sitepu.

Menurut Anindita, dengan ditahannya tarif rokok, Indonesia kehilangan kesempatan untuk melakukan pembangunan yang berkualitas. Indonesia juga kehilangan kesempatan untuk membatasi akses rokok ke anak dan masyarakat miskin serta mendapatkan penerimaan negara.

Pemerintah perlu melibatkan masyarakat sipil dalam penentuan kebijakan cukai rokok khususnya anak muda yang menjadi korban peningkatan prevalensi perokok.

“Alih-alih melibatkan anak muda dalam menentukan kebijakan cukai rokoknya, pemerintah justru melibatkan industri rokok yang jelas tidak peduli pada kesehatan anak muda dan menargetkan mereka sebagai perokok pemula,” ujar Project Coordinator for Young Health Programme Yayasan Lentera Anak Margianta Surahman Juhanda Dinanta.

Keputusan pemerintah, lanjut Margianta, merupakan bentuk diskrimasi pemerintah terhadap hak anak muda Indonesia untuk hidup sehat dan berpartisipasi dalam pembangunan.

Di tempat yang sama, Kepala Dewan Penasihat Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA) Faisal Basri menyebut keputusan pemerintah tak menaikkan cukai rokok bersifat politis. Ia menuding industri rokok memberikan sumbangan untuk kepentingan kampanye pemilihan presiden 2019.

“Saya haqqul yakin semua ini antara lain karena penyumbang-penyumbang buat capres-capres ini adalah industri rokok,” ujar Faisal di tempat yang sama.

Faisal mengungkapkan kontribusi industri rokok terhadap perekonomian sebenarnya kecil yaitu hanya sekitar 0,9 persen. Kemudian, sumbangan industri rokok terhadap industri manufaktur hanya 4,46 persen.

“Pelaku usaha rokok juga tahu industri ini bukan industri yang bertahan di masa depan makanya mereka mengembangkan bisnisnya ke bidang lain,” ujarnya.

Di saat bersamaan, kontribusi rokok terhadap kemiskinan tak bisa dielakkan. Mengutip data terkini Badan Pusat Statistik (BPS), Faisal menyebutkan pengeluaran untuk rokok bagi masyarakat di desa merupakan pengeluaran kedua terbesar setelah beras.

“Bagi masyarakat miskin di desa, pengeluaran untuk rokok enam kali lebih besar dari tempe, tiga kali lebih besar dari telur dan lima kali lebih besar daging ayam. Artinya pengeluaran untuk racun lebih besar dari protein,” ujarnya.

Padahal, pemerintah menginginkan perekonomian Indonesia untuk bertransformasi menjadi ekonomi yang modal manusianya tinggi. Salah satu hal yang bisa mendorong kualitas modal manusia adalah kualitas kesehatan.

“Segala sesuai yang mengganggu peningkatan kualitas modal manusia harus dienyahkan, termasuk rokok yang mengganggu kualitas modal manusia,” ujarnya.

Faisal mengingatkan berdasarkan Indeks Modal Manusia Indonesia keluaran Bank Dunia yang diluncurkan dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, peringkat Indonesia masih bertengger di 87 dari 126 negara, di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Komponen Indeks Modal Manusia hanya dua yaitu pendidikan dan kesehatan.

“Katanya komitmen menurunkan kemiskinan. Katanya komitmen meningkatkan sumber daya manusia. Ini yang kami bingung,” ujarnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengklaim kebijakan untuk tak menaikkan tarif cukai hingga tahun depan dilakukan setelah mendengar evaluasi dari seluruh pihak serta masukan sidang kabinet paripurna beberapa waktu lalu.

Sementara Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi menjelaskan dalam menetapkan tarif cukai, pihaknya mempertimbangkan tiga hal, yaitu permintaan dari kalangan peduli kesehatan agar konsumsi dapat diturunkan secara gradual.

Reff : http://www.galamedianews.com/nasional/205401/cukai-rokok-tak-jadi-naik-presiden-jokowi-tunduk-kepada-industri-tembakau.html