Angka Kematian Akibat Rokok Naik
Angka Kematian Akibat Rokok Naik

World Health Organization (WHO) melansir bahwa angka kematian akbat merokok mencapai 30%, atau setara dengan 17,3 juta orang. Angka kematian tersebut diperkirakan terus meningkat hingga 2030, sebanyak 23,3 juta orang. Aktivitas merokok meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular yang banyak diidap oleh masyarakat di sejumlah negara berpendapatan rendah. Di Indonesia, penyakit kardiovaskular mencapai 80% dan menduduki peringkat tertinggi penyakit mematikan.

Pada 2015, WHO mengeluarkan riset bahwa lebih dari 3,9 juta anak dengan rentang usia 10 tahun hingga 14 tahun menjadi perokok aktif. Sementara itu, aktivitas merokok untuk pertama kalinya dilakukan oleh 239.000 anak di bawah umur 10 tahun. Selebihnya, 40 juta anak berusia di bawah 5 tahun menjadi perokok pasif.

Selain itu, WHO juga mencatat bahwa risiko peningkatan penderita kanker paru-paru pada perokok pasif mencapai 20—30%, dan risiko penderita penyakit jantung sebanyak 25—35%.

Angka kematian dini akibat rokok di dunia tercatat hampir mencapai 5,4 juta. Jika kesadaran tentang bahaya merokok tidak juga tumbuh, diprediksikan pada 2025 tercatat 10 juta perokok akan meregang nyawa.

Tidak mengherankan jika setiap tahunnya, pada peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia, selalu fokus pada dampak tembakau pada peningkatkan penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular).

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Ismoyo Sunu, menyatakan dukungannya terhadap penerapan kebijakan nasional pengendalian tembakau secara holistic. Hal ini termasuk pengaplikasian sanksi yang dapat dikenakan pada masyarakat, lingkungan sekolah, dan di sejumlah fasilitas umum.

Dia mengatakan, berdasarkan studi di Afrika Selatan dan Prancis membuktikan bahwa kebijakan kenaikan harga rokok berdampak positif terhadap penurunan angka kematian perokok. “PERKI mendukung terwujudnya cukai rokok ditingkatkan sampai 66% karena sudah dibuktikan dengan studi, bahwa peningkatan cukai rokok tiga kali lipat akan mengurangi separuh dari jumlah perokok aktif,” ujarnya.

Ismoyo menambahkan, PERKI memiliki program Keluarga Proaktif Kardiovaskular Sehat Indonesia yang diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko penyakit kardioivaskular dan pengendaliannya dalam keluarga. “Harapannya program ini dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular sebagai dampak dari konsumsi tembakau.” tambahnya.

Dokter Spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Ade Meidian Ambari menambahkan bahwa aktivitas merokok menjadi faktor utama penyebab penyakit kardiovaskular, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kecacatan dan kematian.

Merokok dapat merusak lapisan dinding arteri koroner bagian dalam (disfungsi endotel) sehingga terjadi penumpukan lapisan lemak {atheroma) yang mengakibatkan penyempitan arteri koroner. Karbon-monoksida dalam asap

tembakau mengurangi jumlah oksigen dalam darah karena berikatan dengan hemoglobin dan nikotin. Hal ini akan merangsang tubuh untuk memacu aktivitas sistem saraf simpatis sehingga jantung berdetak lebih cepat, dan tekanan darah meningkat.

“Merokok juga dapat meningkatkan aktivasi sistem pembekuan darah yang mengakibatkan terbentuknya thrombus (gumpalan darah) di pembuluh darah coroner, akibatnya bisa memicu serangan jantung,” jelasnya.

Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pada periode Januari hingga September 2017, pemerintah telah menggelontorkan dana hingga Rp6,5 triliun

untuk membiayai 7 juta kasus penyakit jantung di Tanah Air. Jumlah kasus ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 6,5 juta kasus. ‘Takta

ini menunjukkan bahwa penyakit jantung menempati peringkat tertinggi pembiayaan penyakit katastropik di Indonesia,” katanya.

Ade menambahkan, produk tembakau lain seperti bidis,

cerutu, dan shisha yang cukup populer di dunia juga dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular akut, termasuk penyempitan pembuluh darah jantung (pembuluh darah koroner).

PENGENDALIAN TEMBAKAU

Mengenai konsumsi tembakau di Indonesia, Ketua III Yayasan Jantung Indonesia dan Ketua Harian Komnas Pengendalian Tembakau Laksmiati A.Hanafiah mengemukakan, kedaruratan atau ancaman bahaya tembakau sebenarnya sudah sering diinformasikan kepada masyarakat. Namun, kesadaran dan kepedulian terhadap hal ini sampai saat ini masih kurang.

Hal ini terbukti dengan makin tingginya konsumsi tembakau di kalangan perokok muda, akibat maraknya iklan gaya hidup dari kalangan industri rokok yang menyesatkan.

“Yang menyedihkan adalah sebagian besar perokok yakni 70% berasal dari keluarga miskin dan usia produktif. Seharusnya uang yang digunakan untuk membeli rokok dapat dialokasikan untuk membeli makanan dan minuman,” katanya.

Dia menambahkan, di beberapa tempat masih ditemukan rokok yang dijual dengan harga murah. “Salah satu upaya untuk menurunkan konsumsi rokok hanya dengan meningkatkan harga produk ini,” ujarnya.

Laksmiati mengatakan, agar dapat efisien maka pengendalian konsumsi tembakau harus dilakukan secara ho-listik dan terintegrasi, oleh pemerintah dan masyarakat. Pendidikan tentang bahaya tembakau dapat dimulai dari keluarga, sekolah dan sejumlah komunitas, sehingga tidak lagi muncul generasi penerus yang menyandu zat adiktif ini.